Beberapa waktu lalu orang yang menyandang gelar Smith di Indonesia sedang tertimpa masalah hukum, pasti sudah pada tahu kan kasusnya. Orang itu adalah Bahar bin Smith, yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Ane sendiri sebagai seorang muslim, jujur kurang sependapat kalau dia mengaku sebagai habib alias keturunan nabi. Dilihat dari tutur katanya saja, dia jauh sekali bila dibandingkan dengan nabi.
Walaupun ilmu agama ane masih cetek, tapi ane masih paham bagaimana sifat nabi. Apalagi dia memakai marga Smith, yang sangat asing ditelinga ane. Karena nama Smith lebih terdengar seperti nama dari Eropa dan Amerika, bukan dari Timur Tengah. Ane pun mencoba mencari tahu soal marga Smith, dan akhirnya menemukan fakta yang menarik. Dikutip dari sumber yang bisa dipercaya, ane akan coba ulas sedikit tentang marga kontroversial ini. Mari kita simak pembahasannya bersama.
Sumber
SEJARAH
Di Timur Tengah sana marga Smith lebih dikenal dengan nama Sumayth. Pengucapan serta penulisan marganya memang memiliki banyak versi, meskipun memiliki makna yang sama. Ada yang menyebut dan menuliskan sebagai Sumaith, Sumayth, Sumayt, Sumait, Semaith, Semaid, Semit, hingga Smith.
FYI gan sist, pengucapan nama Smith hanya berlaku bagi orang Indonesia saja. Di Arab, pengucapannya lebih sering diucapkan dengan sebutan sumaith hingga sumait, hal ini disampaikan langsung oleh Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D. Yang menjabat sebagai Assistant Professor Kajian Islam dan Timur Tengah dari New York University, hal itu beliau ungkapkan dalam sebuah wawancara bersama Tirto.id, pada hari Rabu (19/12/2018). Kita tahu orang Indonesia sering salah ucap dalam pelafalan kosa kata bahasa asing, maka dari itu nama Sumaith bisa menjadi Smith disini.
Marga Smith merupakan salah satu nama keluarga yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam silsilah keluarga Alawiyyin (sebutan untuk mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad), Keluarga Sumayt merupakan cabang yang relatif kecil dari keluarga Nabi Muhammad sendiri. Orang yang menyandang marga Sumayt atau di Indonesia lebih dikenal dengan Smith untuk pertamakali adalah, Muhammad bin Ali bin Abdurahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al- Faqih. Atau lebih dikenal juga sebagai Muhammad bin Ali bin Abdul Rahman bin Sumayt, meninggal pada 977 Hijriah sekitar tahun 1569-1570 Masehi.
Ilustrasi Yaman.
Sumber
Muhammad bin Ali sendiri memiliki nasab al-Faqih yang berakar dari Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir, meninggal pada 924 Masehi, beliau merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra. Fatimah merupakan putri dari Nabi Muhammad.
Sejarah penamaan marga Smith berawal dari kisah masa kecil Muhammad bin Ali yang lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman. Ketika masih kecil, Muhammad dipakaikan sebuah kalung oleh ibunya, kalung itu terbuat dari benang. Dalam tradisi Arab, kalung itu disebut sumayt atau sumaith, yang artinya “kalung kecil".
Suatu ketika saat ibu dan anak tersebut sedang berjalan bersama, tanpa disadari kalung yang dipakai si anak tersebut jatuh. Orang-orang yang melihatnya, kemudian berteriak memanggil mereka dengan menyerukan kata-kata "sumaith, sumaith, sumaith". Setelahnya panggilan Ibnu Sumaith melekat kepada Muhammad, dimana nama ini juga disematkan kepada anak-anak dan cucunya serta menjadi label marga hingga sekarang.
Hadramaut di Yaman.
Sumber
Cerita mengenai marga Sumaith ini juga sempat dituliskan dalam sebuah buku, yang berjudul Sufis and Scholars of the Sea: Family Networks in East Africa 1860-1925 (2003) karya Anne Bang.
Keturunan Muhammad bin Ali menyebar di berbagai wilayah Timur Tengah, sampai di Afrika, hingga ke Nusantara. Orang dengan marga Smith banyak ditemui di beberapa daerah di Indonesia, seperti dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, juga Sulawesi.
Termasuk Manado di Sulawesi Utara yang menjadi tempat lahir Bahar bin Smith.
Kiprah Marga Smith di Indonesia
Pada wawancara kepada Tirto.id, Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D. Assistant Kajian Islam dan Timur Tengah dari New York University, mengatakan bahwa marga Smith bukan termasuk keluarga keturunan nabi yang mencapai Nusantara pada awal abad 19. Beliau belum pernah dengar nama tokoh dari keluarga Smith di awal abad ke-19 tiba ke Nusantara.
Peraih gelar Ph.D. di bidang antropologi dan sejarah dari University of Michigan ini berpendapat bahwa, marga Smith datang ke Indonesia setelah dibukanya Terusan Suez dan beroperasinya kapal uap mulai pertengahan abad ke-19. Menurut Prof. Ismail, sebenarnya cukup banyak tokoh terkenal dari keluarga Smith di Indonesia, terutama saat era pergerakan nasional pada zaman Belanda.
Salah satu tokoh tersebut adalah Sayyid Hasan bin Sumayt, yang berasal dari Madura. Sayyid sendiri merupakan bendahara al-Hilal al-Ahmar (Sabit Merah), dikenal karena sempat membuat penggalangan dana yang besar untuk Ottoman (Turki) pada tahun 1912. Yang akhirnya hal ini diketahui pihak Bekanda, kemudian ditutup oleh pemerintah kolonial, karena kebijakan netral Belanda di Perang Dunia I.
Kiprah Sayyid bin Hasan semasa pergerakan nasional juga ditulis dalam buku berjudul, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (2013) karya Amelia Fauzia. Sayyid Hasan bin Sumayt merupakan salah satu pemimpin Sarekat Islam (SI) di Surabaya, Sayyid Hasan bin Sumayt memiliki hubungan baik dengan H.O.S. Tjokroaminoto selaku pemimpin besar Sarekat Islam.
Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Dan guru serta teladan bagi Soekarno, Semaun, Sekarmaji dan Muso.
Sumber
FYI lagi nih gan sist, buat kalian yang agak lupa dengan nama H.O.S. Tjokroaminoto. Beliau adalah sosok guru dan panutan bagi beberapa tokoh besar bangsa Indonesia, beliau dulu juga mengelola rumah kos di Surabaya. Bisa dibilang beliau adalah bapaknya bapak bangsa Indonesia. Di rumah kos yang dikelolanya, ada 11 penghuni kos yang sekaligus berguru pada Tjokroaminoto. Beberapa diantaranya adalah Soekarno, Semaun, Sekarmadji (Kartosuwiryo) dan juga Muso, beberapa dari 11 orang yang termasuk murid Tjokroaminoto.
Balik lagi ke cerita utama, Sayyid Hasan bin Sumayt pada masanya merupakan penyandang dana utama perusahaan percetakan Setia Oesaha, yang menerbitkan surat kabar Oetoesan Hindia, yang merupakan bentuk propaganda dari SI pada zaman Belanda. Di zaman sekarang, bukan hanya Bahar bin Smith yang menyandang nama marga ini. Ada sosok Zein bin Umar bin Smith, Zein sendiri adalah Ketua Umum Rabhitah Alawiyah, merupakan organisasi pencatat keturunan keluarga Nabi Muhammad di Indonesia.
Asal Usul Nama Habib
Menurut Zein, orang dari Hadramaut (Yaman) terbagi menjadi tiga golongan. Yakni sa'adah, masyaikh, qabail. Diluar golongan itu ada juga golongan sayid, dimana sayid adalah sebutan bagi orang Yaman yang memiliki garis keturunan nabi. Golongan ini yang kemudian kita kenal juga dengan panggilan habib di Indonesia.
Para keturunan Rasul di kalangan keluarga Sayyidina Hasan, dikenal dengan sebutan syarif. Sementara di kalangan Sayyidina Husein disebut sayid, bagi jemaah yang mengikutinya dikenal sebagai sa'adah. Seiring berkembangnya zaman, keturunan sayid mulai dicintai lingkungan tempat tinggalnya dan dicintai oleh muridnya, kemudian mereka mulai dipanggil dengan sebutan Al Habib. Al Habib itu artinya yang dicintai, munculnya gelar Al Habib membuat sebutan sayid-nya mulai hilang, dan lebih dikenal dengan nama habib.
Sementara di Aceh dan Malaysia, habib sendiri kurang begitu dikenal, nama habib lebih sering dipanggil Said. Habib sebenarnya memiliki kedudukan istimewa, artinya mereka yang dipanggil habib itu orang yang benar dan dicintai. Bagi mereka yang menjadi ahli ilmu, namun berasal dari golongan orang biasa namun masih mempunyai garis keturunan nabi, cukuplah dipanggil dengan sayid.
Zein Umar bin Smith. ketua Rabithah Alawaiyah, organisasi pencatat keturunan keluarga Nabi Muhammad di Indonesia.
Sumber
Sekarang gelar habib mulai disalahartikan menjadi panggilan keakraban, bukan panggilan untuk menjadi ulama besar. Kita harus bisa memilah antara sayid dan habib, apakah sosok yang digelari habib orangnya benar-benar baik ? Dan apakah si habib itu mengajar dengan ilmu dan akhlaknya yang mulia, serta bisa menjadi panutan ?
Dalam istilah kabilah (kaum dari satu ayah), sebetulnya penyebutan keturunan nabi lebih cenderung ke marga. Misalkan Syekh Abu Bakar itu ada dua marga, yakni Al Hadad dan Al Hamid. Kabilah itu kini menjadi bagian dari Indonesia, nama itu menempel karena dibawa dari keluarga mereka. Bagi yang memiliki marga tersebut, tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Keturunan dari marga ini pun dari dulu mendedikasikan ilmu dan segala yang mereka punya untuk Indonesia dan negara lain yang menjadi tujuan hijrah mereka, karena para keturunan nabi ini tetap berpanutan kepada para pendahulunya.
Mereka harus ikut menyebarkan ilmu dan juga kebaikan, dimana pun mereka berada. Itu prinsip yang ada di keluarga Alawiyin, memberikan dakwah sekaligus memberikan keteladanan yang baik. Dan ketika ada masalah ditempat baru yang menjadi tujuan hijrah mereka, para keluarga keturunan nabi ini juga harus turut serta membantu masyrakat sekitarnya. Jika memang perkara yang dihadapi, berlawanan dengan norma masyarakat maupun ajaran Islam. Seperti yang dilakukan Sayyid bin Hasan yang membantu Tjokroaminoto, dalam perjuangannya untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Sumber
Walaupun ilmu agama ane masih cetek, tapi ane masih paham bagaimana sifat nabi. Apalagi dia memakai marga Smith, yang sangat asing ditelinga ane. Karena nama Smith lebih terdengar seperti nama dari Eropa dan Amerika, bukan dari Timur Tengah. Ane pun mencoba mencari tahu soal marga Smith, dan akhirnya menemukan fakta yang menarik. Dikutip dari sumber yang bisa dipercaya, ane akan coba ulas sedikit tentang marga kontroversial ini. Mari kita simak pembahasannya bersama.
Sumber
SEJARAH
Di Timur Tengah sana marga Smith lebih dikenal dengan nama Sumayth. Pengucapan serta penulisan marganya memang memiliki banyak versi, meskipun memiliki makna yang sama. Ada yang menyebut dan menuliskan sebagai Sumaith, Sumayth, Sumayt, Sumait, Semaith, Semaid, Semit, hingga Smith.
FYI gan sist, pengucapan nama Smith hanya berlaku bagi orang Indonesia saja. Di Arab, pengucapannya lebih sering diucapkan dengan sebutan sumaith hingga sumait, hal ini disampaikan langsung oleh Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D. Yang menjabat sebagai Assistant Professor Kajian Islam dan Timur Tengah dari New York University, hal itu beliau ungkapkan dalam sebuah wawancara bersama Tirto.id, pada hari Rabu (19/12/2018). Kita tahu orang Indonesia sering salah ucap dalam pelafalan kosa kata bahasa asing, maka dari itu nama Sumaith bisa menjadi Smith disini.
Marga Smith merupakan salah satu nama keluarga yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam silsilah keluarga Alawiyyin (sebutan untuk mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad), Keluarga Sumayt merupakan cabang yang relatif kecil dari keluarga Nabi Muhammad sendiri. Orang yang menyandang marga Sumayt atau di Indonesia lebih dikenal dengan Smith untuk pertamakali adalah, Muhammad bin Ali bin Abdurahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al- Faqih. Atau lebih dikenal juga sebagai Muhammad bin Ali bin Abdul Rahman bin Sumayt, meninggal pada 977 Hijriah sekitar tahun 1569-1570 Masehi.
Ilustrasi Yaman.
Sumber
Muhammad bin Ali sendiri memiliki nasab al-Faqih yang berakar dari Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir, meninggal pada 924 Masehi, beliau merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra. Fatimah merupakan putri dari Nabi Muhammad.
Sejarah penamaan marga Smith berawal dari kisah masa kecil Muhammad bin Ali yang lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman. Ketika masih kecil, Muhammad dipakaikan sebuah kalung oleh ibunya, kalung itu terbuat dari benang. Dalam tradisi Arab, kalung itu disebut sumayt atau sumaith, yang artinya “kalung kecil".
Suatu ketika saat ibu dan anak tersebut sedang berjalan bersama, tanpa disadari kalung yang dipakai si anak tersebut jatuh. Orang-orang yang melihatnya, kemudian berteriak memanggil mereka dengan menyerukan kata-kata "sumaith, sumaith, sumaith". Setelahnya panggilan Ibnu Sumaith melekat kepada Muhammad, dimana nama ini juga disematkan kepada anak-anak dan cucunya serta menjadi label marga hingga sekarang.
Hadramaut di Yaman.
Sumber
Cerita mengenai marga Sumaith ini juga sempat dituliskan dalam sebuah buku, yang berjudul Sufis and Scholars of the Sea: Family Networks in East Africa 1860-1925 (2003) karya Anne Bang.
Keturunan Muhammad bin Ali menyebar di berbagai wilayah Timur Tengah, sampai di Afrika, hingga ke Nusantara. Orang dengan marga Smith banyak ditemui di beberapa daerah di Indonesia, seperti dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, juga Sulawesi.
Termasuk Manado di Sulawesi Utara yang menjadi tempat lahir Bahar bin Smith.
Kiprah Marga Smith di Indonesia
Pada wawancara kepada Tirto.id, Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D. Assistant Kajian Islam dan Timur Tengah dari New York University, mengatakan bahwa marga Smith bukan termasuk keluarga keturunan nabi yang mencapai Nusantara pada awal abad 19. Beliau belum pernah dengar nama tokoh dari keluarga Smith di awal abad ke-19 tiba ke Nusantara.
Peraih gelar Ph.D. di bidang antropologi dan sejarah dari University of Michigan ini berpendapat bahwa, marga Smith datang ke Indonesia setelah dibukanya Terusan Suez dan beroperasinya kapal uap mulai pertengahan abad ke-19. Menurut Prof. Ismail, sebenarnya cukup banyak tokoh terkenal dari keluarga Smith di Indonesia, terutama saat era pergerakan nasional pada zaman Belanda.
Salah satu tokoh tersebut adalah Sayyid Hasan bin Sumayt, yang berasal dari Madura. Sayyid sendiri merupakan bendahara al-Hilal al-Ahmar (Sabit Merah), dikenal karena sempat membuat penggalangan dana yang besar untuk Ottoman (Turki) pada tahun 1912. Yang akhirnya hal ini diketahui pihak Bekanda, kemudian ditutup oleh pemerintah kolonial, karena kebijakan netral Belanda di Perang Dunia I.
Kiprah Sayyid bin Hasan semasa pergerakan nasional juga ditulis dalam buku berjudul, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (2013) karya Amelia Fauzia. Sayyid Hasan bin Sumayt merupakan salah satu pemimpin Sarekat Islam (SI) di Surabaya, Sayyid Hasan bin Sumayt memiliki hubungan baik dengan H.O.S. Tjokroaminoto selaku pemimpin besar Sarekat Islam.
Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Dan guru serta teladan bagi Soekarno, Semaun, Sekarmaji dan Muso.
Sumber
FYI lagi nih gan sist, buat kalian yang agak lupa dengan nama H.O.S. Tjokroaminoto. Beliau adalah sosok guru dan panutan bagi beberapa tokoh besar bangsa Indonesia, beliau dulu juga mengelola rumah kos di Surabaya. Bisa dibilang beliau adalah bapaknya bapak bangsa Indonesia. Di rumah kos yang dikelolanya, ada 11 penghuni kos yang sekaligus berguru pada Tjokroaminoto. Beberapa diantaranya adalah Soekarno, Semaun, Sekarmadji (Kartosuwiryo) dan juga Muso, beberapa dari 11 orang yang termasuk murid Tjokroaminoto.
Balik lagi ke cerita utama, Sayyid Hasan bin Sumayt pada masanya merupakan penyandang dana utama perusahaan percetakan Setia Oesaha, yang menerbitkan surat kabar Oetoesan Hindia, yang merupakan bentuk propaganda dari SI pada zaman Belanda. Di zaman sekarang, bukan hanya Bahar bin Smith yang menyandang nama marga ini. Ada sosok Zein bin Umar bin Smith, Zein sendiri adalah Ketua Umum Rabhitah Alawiyah, merupakan organisasi pencatat keturunan keluarga Nabi Muhammad di Indonesia.
Asal Usul Nama Habib
Menurut Zein, orang dari Hadramaut (Yaman) terbagi menjadi tiga golongan. Yakni sa'adah, masyaikh, qabail. Diluar golongan itu ada juga golongan sayid, dimana sayid adalah sebutan bagi orang Yaman yang memiliki garis keturunan nabi. Golongan ini yang kemudian kita kenal juga dengan panggilan habib di Indonesia.
Para keturunan Rasul di kalangan keluarga Sayyidina Hasan, dikenal dengan sebutan syarif. Sementara di kalangan Sayyidina Husein disebut sayid, bagi jemaah yang mengikutinya dikenal sebagai sa'adah. Seiring berkembangnya zaman, keturunan sayid mulai dicintai lingkungan tempat tinggalnya dan dicintai oleh muridnya, kemudian mereka mulai dipanggil dengan sebutan Al Habib. Al Habib itu artinya yang dicintai, munculnya gelar Al Habib membuat sebutan sayid-nya mulai hilang, dan lebih dikenal dengan nama habib.
Sementara di Aceh dan Malaysia, habib sendiri kurang begitu dikenal, nama habib lebih sering dipanggil Said. Habib sebenarnya memiliki kedudukan istimewa, artinya mereka yang dipanggil habib itu orang yang benar dan dicintai. Bagi mereka yang menjadi ahli ilmu, namun berasal dari golongan orang biasa namun masih mempunyai garis keturunan nabi, cukuplah dipanggil dengan sayid.
Zein Umar bin Smith. ketua Rabithah Alawaiyah, organisasi pencatat keturunan keluarga Nabi Muhammad di Indonesia.
Sumber
Sekarang gelar habib mulai disalahartikan menjadi panggilan keakraban, bukan panggilan untuk menjadi ulama besar. Kita harus bisa memilah antara sayid dan habib, apakah sosok yang digelari habib orangnya benar-benar baik ? Dan apakah si habib itu mengajar dengan ilmu dan akhlaknya yang mulia, serta bisa menjadi panutan ?
Dalam istilah kabilah (kaum dari satu ayah), sebetulnya penyebutan keturunan nabi lebih cenderung ke marga. Misalkan Syekh Abu Bakar itu ada dua marga, yakni Al Hadad dan Al Hamid. Kabilah itu kini menjadi bagian dari Indonesia, nama itu menempel karena dibawa dari keluarga mereka. Bagi yang memiliki marga tersebut, tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Keturunan dari marga ini pun dari dulu mendedikasikan ilmu dan segala yang mereka punya untuk Indonesia dan negara lain yang menjadi tujuan hijrah mereka, karena para keturunan nabi ini tetap berpanutan kepada para pendahulunya.
Mereka harus ikut menyebarkan ilmu dan juga kebaikan, dimana pun mereka berada. Itu prinsip yang ada di keluarga Alawiyin, memberikan dakwah sekaligus memberikan keteladanan yang baik. Dan ketika ada masalah ditempat baru yang menjadi tujuan hijrah mereka, para keluarga keturunan nabi ini juga harus turut serta membantu masyrakat sekitarnya. Jika memang perkara yang dihadapi, berlawanan dengan norma masyarakat maupun ajaran Islam. Seperti yang dilakukan Sayyid bin Hasan yang membantu Tjokroaminoto, dalam perjuangannya untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar