Selasa, 25 Agustus 2020

HTI DAN GUYONAN GUS DUR


Tadinya saya berpikir, “Ya sudahlah. HTI tidak perlu diladeni. Kan mereka sudah menjadi ormas terlarang. Kita tinggal nunggu berita viral aparat menangkap tokoh-tokoh mereka.” Apalagi saya sudah sangat paham HTI, teori dan praktik, lahir dan batin. Saya tahu persis isi hati HTI yang paling dalam. Tentang kitab-kitab resmi (mutabanat), saya mendapatkan ijazah dari Mu’tamad/Mas’ul ‘Am (Ketua Umum HTI) untuk mengajarkannya. 

Tapi ternyata, kegiatan HTI tanpa nama HTI (pakai nama samaran) membuat masyarakat sadar akan hakikat HTI yang sesungguhnya. Publik menyimak polemik dan perang opini antara kader-kader NU melawan HTI. Sementara ini publik tidak berpihak ke HTI. Belum ada ormas, ulama dan tokoh umat yang menyatakan siap pasang badan seandainya kader-kader HTI diciduk polisi. Bagi penggiat diskusi yang berminat pada isu-isu politik kontemporer dan pemikiran  Islam memiliki, narasi-narasi basi HTI dijadikan bahan untuk memperluas spektrum tentang Khilafah yang akan memperkaya wawasan seputar pemikiran politik Islam. 

Seperti guyonan Gus Dur, orang Indonesia itu apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dikerjakan, HTI persis itu. Ulama-ulama HTI muter-muter membahas dalil-dalil tentang Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, merujuk maqalat ulama aswaja tentang Khilafah, memperlihatkan indahnya persatuan umat di masa Khilafah, menyampaikan tingginya peradaban Islam di masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah, menjadikan penaklukan kota Konstantinopel sebagai bukti kehebatan Khilafah, dan sebagainya. 

Semua itu hanya narasi-narasi bodong yang tidak ada hubungannya dengan Khilafah yang sedang diperjuangkan HTI karena khilafah yang diperjuangkan HTI merupakan Khilafah Tahririyah ‘ala Minhajin Nabhaniyah yakni suatu konsep negara versi Hizbut Tahrir hasil konstruksi pemikiran (ijtihad) Taqiyuddin an-Nabhani. Pilar-pilar dari Khilafah Tahririyah adalah 1). Khilafah didirikan dengan cara kudeta (thalabun nushrah) oleh dewan jenderal. 2). Amir Hizbut Tahrir adalah calon Khalifah yang menerima penyerahan kekuasaan dari dewan jenderal. 3). Undang-undang Dasar (UUD) yang disusun Amir Hizbut Tahrir menjadi konstitusi negara. 

Dari tiga pilar ini, jelas sekali perbedaan antara Khilafah Tahririyah dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Pada Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, seorang Khalifah dibai’at setelah dilakukan musyawarah (pemilihan) yang dilakukan bebas tanpa paksaan (ridla wal ikhtiar). Meskipun cara dan teknis (uslub) musyawarahnya berbeda-beda, keempat Khalifah tersebut mendapat mandat kekuasaan setelah ada pemilihan dan mendapat suara mayoritas. Artinya bai’at adalah sebab dan tanda penyerahan mandat kekuasaan dari umat kepada calon Khalifah untuk menjadi Khalifah. 

Bertolak belakang dengan hal tersebut, HTI meyakini penyerahan kekuasaan dari dewan jenderal binaan HTI (setelah berhasil mengambil kekuasaan dari penguasa sebelumnya) kepada Amir Hizbut Tahrir sebagai metode baku. Metode ini telah menghilangkan proses musyawarah (pemilihan). Tidak terjadi penyerahan mandat dari umat kepada calon Khalifah secara sukarela. HTI secara sepihak menetapkan Amir mereka sebagai Khalifah kemudian meminta umat membai’atnya di bawah bayang-bayang todongan senjata dari pasukan yang dipegang masing-masing jenderal anggota dewan jenderal. Skenario HTI ini persis yang dilakukan Mu’awiyah ketika meminta bai’at kepada umat atas ke-Khalifah-an anaknya, Yazid. 

Pada masa Khulafaur Rasyidin semua Khalifah tidak pernah mencalonkan diri sebelumnya. Mereka tidak membentuk tim sukses apalagi partai politik agar menjadi Khalifah. Mereka juga tidak melakukan kampanye agar dipilih menjadi Khalifah. Lain halnya dengan HTI. HTI sebagai partai politik sekaligus tim sukses agar Amir mereka menjadi Khalifah. Mereka juga melakukan serangan-serangan opini untuk mendelegitimasi pemerintah pada saat yang sama melakukan infiltrasi ke tubuh TNI-Polri dalam rangka mendapat dukungan dan perlindungan serta mencari jalan meraih kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh HTI ini mirip dengan gerakan politik al-Saffah ketika meruntuhkan Khilafah Umayyah lalu mendirikan Khilafah Abbasiyah di atas puing-puingnya. 

Khilafah Tahririyah juga berbeda dengan Khilafah ‘ala  Minhajin Nubuwwah dari sisi penetapan Amir Hizbut Tahrir sebagai Khalifah dan Undang-undang Dasar susunannya sebagai konstitusi negara oleh HTI. Penetapan ini memang hak HTI namun ini penetapan sepihak. Penetapan sepihak yang pernah dilakukan oleh kaum Anshor ketika mereka menetapkan figure terbaik mereka yakni Saad bin Ubadah sebagai khalifah pengganti Rasulullah Saw. 

Penetapan ini dianulir oleh Umar bin Khaththab. Para sahabat dari Anshor dan Muhajirin yang  berkumpul di Saqifah Bani Saidah menerima sikap Umar tersebut. Kemudian mereka memilih ulang Khalifah yang akhirnya terpilih Abu Bakar. Abu Bakar meskipun sahabat terbaik Nabi Saw tapi tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Saw sebagai khalifah pengganti Beliau Saw. Khulafaur Rasyidin dalam mengatur urusan umat berdasarkan ijtihad politik yang mereka duga kuat benar. Mereka tidak merancang Undang-undang Dasar negera Khilafah layaknya Hizbut Tahrir. 

Khilafah Tahririyah dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Dari metode perjuangan HTI mirip dengan al-Saffah ketika mendirikan Khilafah Abbasiyah. Sedangkan dari aspek bai’at, HTI seperti Khilafah Umayyah. Jadi narasi-narasi yang diviralkan oleh kader-kader HTI seputar Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah hanya pepesan kosong. Guyon Gur Dur: “orang Indonesia itu apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dikerjakan.” Lahul Fatihah…

✍🏼 Ayik heriansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar