--------------------------------------------------------------
Pada 1962, setelah eksekusi mati Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 32 orang eks komandan NII/DI/TII beserta 3.000 orang pengikutnya diberi pengampunan dan nafkah oleh negara. Sebagian dijadikan pegawai di Kodam (khususnya Siliwangi), sebagian dibina berwirausaha.
Imbalan hidup sejahtera hanya dengan modal tandatangan sumpah setia pada NKRI.
Merangkul musuh; sebuah konsep yang bertahan lintas rezim hingga 60 tahun kemudian.
Pada 1971, tiga ribu manusia beracun eks-NII/DI/TII ini ditawari hidup lebih enak lagi oleh Suharto; melalui sang tsar intelijen, Komandan Divisi Opsus BAKIN, Kolonel Ali Moertopo.
Lewat dua orang intel utama Moertopo, Mayor Pitut Suharto (tidak ada hubungan keluarga) dan Mayor Aloysius Sugianto, sepertiga dari 32 panglima jihadis itu diberi tugas memimpin ribuan laskarnya dalam misi pemenangan Golkar jelang Pemilu 1971. Yaitu menggembosi suara partai-partai Islam yang menjadi saingan terberat Golkar : Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Islam PERTI.
Caranya, menyebar diantara umat Islam se-Jawa Barat dan Jawa Timur (tengah tidak perlu, sudah otomatis), dan mengajak umat memilih Golkar. Alasannya, ada bahaya besar yang hanya Golkar yang mampu mengatasi; yaitu kebangkitan komunis.
Narasi yang hingga setengah abad kemudian masih laku keras.
Sebagai imbalan, ribuan orang ini dibagi-bagi hak distribusi minyak tanah PERTAMINA di seluruh pulau Jawa. Mungkin itu awalnya penjual minyak tanah disebut "agen".
Dua nama yang paling menonjol diantara agen-agen itu adalah H. Ismail Pranoto alias Hispran, beroperasi di Jatim; dan Danu Muhammad Hasan di Jabar. Keduanya sudah lama menjadi binaan Pitut dan Aloysius. Danu bahkan sudah menjadi informan Aloysius sedjak 1955, sejak masih menjadi tangan kanan Kartosoewirjo; sekaligus pengkhianat terbesarnya.
Pada misi pemenangan Golkar itu, Hispran ditempatkan sebagai ketua GUPPI - Gabungan Usaha-usaha Pembaruan Pendidikan Islam, ormas onderbouw Golkar yang kelak pasca reformasi melebur ke dalam onderbouw Golkar yang lain, Kowani - Kongres Wanita Indonesia.
Sebagai tambahan, beragam ormas lain juga diciptakan maupun diinfiltrasi untuk pemenangan Golkar; diantaranya Korpri, PGRI, LBH, PWI, KNPI, HKTI, dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).
Hispran kelak divonis penjara seumur hidup pada 1978. Adapun Danu kelak divonis 10 tahun penjara, tapi di hari kebebasannya ia tewas 10 jam setelah keluar sel. Sebuah kebetulan yang puitis. Penyebab kematiannya tidak pernah diketahui. Pada sidang pengadilannya di 1984, Danu mengaku sebagai "pembantu BAKIN", bahkan mengaku kuliah anaknya di Madinah dibiayai oleh Ali Moertopo. Anaknya itu bernama Hilmi Aminuddin, pendiri Partai Keadilan, cikal-bakal PKS.
Selepas memenangkan Golkar di Pemilu 1971, para agen ini bebas tugas; dengan masih memegang hak distribusi minyak tanah seumur hidup. Kecuali Danu yang bangkrut; ia dijadikan pegawai BAKIN, diberi rumah dan mobil dinas.
Ini awal strategi Tebar-Pancing-Jaring, andalan Suharto untuk mengelola bahaya laten Islam. Pemenangan Golkar hanya tujuan jangka pendek. Jangka panjangnya adalah pembusukan citra Islam di mata rakyat, sehingga menyumbat potensi Islam sebagai kekuatan baru pengganti komunis.
Pada 1973, partai-partai Islam yang sudah takluk itu lalu dipasung; dengan kebijakan 3 partai. Semua partai Islam dilebur ke dalam PPP. Sisanya, termasuk partai-partai agama selain Islam, dibuang ke PDI. Jalan tol sudah terbuka bagi kemenangan Golkar di Pemilu 1977 kelak. Para eks-NII sudah tidak dibutuhkan lagi, tinggal menunggu mereka membesar untuk dijaring.
Pada 1975, di Jalan Mahoni, Tanjung Priok, Danu Muhammad Hasan cs mengadakan pertemuan antar perwakilan eks-NII di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Mereka menyepakati berdirinya kembali Daarul Islam. Pimpinan tertinggi diserahkan kepada Tengku Daud Beureuh di Aceh. Gaos Taufik di Sumut menjadi komandan militer utama. Ale A.T. dari Sulsel memegang hubungan luar negeri. Adah Djaelani, Aceng Kurnia, dan Dodo Mohamad Darda alias Abu Darda (anak S.M. Kartosoewirjo) bersama-sama menjabat Mendagri. Danu menjabat komandan militer Jawa Barat.
Tahun berikutnya, 1976, Gaos Taufik mengadakan rapat di Sukabumi. Di situ dirancang bendera Darul Islam : bendera hitam bergambar sebilah pedang yang di bawahnya bertuliskan kalimat "Laa ilaaha illallah" dalam huruf Arab. Setelah rapat itu Gaos membentuk pasukan khusus. Hasil rekrutannya diantaranya Agus Sulaeman Lubis dan Timsar Zubil dari Padang, serta Abdullah Umar dari Larantuka, Flores.
Dari sinilah istilah Komando Jihad (Komji) pertama muncul. Istilah ini digunakan oleh Opsus dan BAKIN untuk menyebut kelompok Darul Islam versi Pertemuan Mahoni. Kelak, sisa-sisa kombatan yang diwawancarai berbagai pihak mengaku tidak pernah menggunakan nama itu, dan menyebutnya istilah yang dipakai pemerintah.
Mulai 1976 hingga 1979, serentetan aksi teror bom, perampokan, dan pembunuhan dilancarkan di Sumut, Sumsel, Sumbar, Lampung, hingga berakhir di Jabar.
Aksi pertama DI/Komji adalah teror granat di ajang MTQ, Pematang Siantar, Mei 1976. Disusul bom di RS Baptis Immanuel, Bukittinggi, Sumbar, Oktober 1976, bersamaan dengan bom di Masjid Nurul Iman,Padang. Disusul kemudian dengan rangkaian serangan bom di Medan, menyasar Bar Apollo, bioskop Riang, dan gereja Metodis.
Setelah aksi Medan, Gaos dan Timsar diringkus; namun Abdullah Umar lolos. Dalam sidang pengadilan Timsar pada 1978, ada keterangan saksi menyatakan Timsar pernah ikut les merakit bom bersama 10 orang rekan di Jakarta; di Jl. Kalibaru, Tanjung Priok. Pemilik rumah tempat les itu bernama Jabir, eks-DI asal Sulsel, menantu Aceng Kurnia.
Timsar Zubil divonis mati pada 1979, tapi diubah jadi hukuman seumur hidup, dan dibebaskan pada 1999.
Pada 2001 ia diwawancarai oleh Majalah Darul Islam, yang hasilnya dimuat pada edisi Januari-Februari 2001. Di situ ia mengaku dalam rangkaian aksinya di Sumatra memakai granat sisa pemberontakan PRRI 1958.
Abdullah Umar sempat melarikan diri ke Flores, namun pada 1977 kembali ke pulau Jawa. Ia ditampung oleh Abubakar Ba'asyir di Ponpes Ngruki, sebagai sesama alumni Gontor.
Di Lampung, aksi DI/Komji pada 1977 dilancarkan oleh kombatan bernama Abdul Qadir Baraja. Ia memimpin serangan ke pos polisi untuk merebut senjata. Ia akhirnya ditangkap dan dipenjara di Lampung, namun berhasil memimpin pemberontakan di dalam penjara; yang meloloskan semua napi.
Baraja baru tertangkap lagi setelah ia terlibat pengeboman Candi Borobudur pada 1985, dipenjara lagi, dan bebas pada tahun 2000. Begitu bebas, ia mengadakan Muktamar Khilafatul Muslimin di Jogjakarta; yang diklaim meneguhkan dirinya sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin umat Islam sedunia.
Ormas Khilafatul Muslimin masih berdiri hingga detik ini, berkantor pusat di Lampung; bahkan sudah mempunyai cabang di beberapa provinsi; dengan klaim mempunyai 3.000 anggota. Khilmin mengaku mengusung "Khilafah Ramah", dan merangkul semua agama. Benderanya berwarna hijau, bertuliskan "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan Selain Allah) dalam huruf Arab.
Pada akhir 2019, "Abdul Qadir Hasan Baraja" diwawancarai oleh Gatra; setelah namanya mencuat karena menyerahkan salah satu anggota Khilmin ke polisi 3 hari setelah insiden penikaman Menkopolhukam Wiranto. Kepada Gatra, Baraja sesumbar bahwa berkat kerjasamanya dengan kepolisian itulah maka ormasnya tidak ikut dibubarkan bersama hizb ut-tahrir, padahal nama ormasnya terang-terangan memuat kata Khilafah.
Saat di Lampung, Baraja membina seorang kombatan bernama Asep Warman, asal Garut. Warman disebut telah melakukan 16 aksi serangan merebut senjata polisi di sekujur Sumsel. Setelah penangkapan Gaos Taufik di Medan, Warman kabur ke Jakarta pada 1978. Di Jakarta, bersama pelarian DI/Komji Lampung lainnya, ia ditampung di Pesantren Missi Islam di Tanjung Priok.
Januari 1979, Warman bergabung dengan Abdullah Umar. Ia memimpin laskar DI/Komji Jabar dalam serangkaian aksi perampokan dan pembunuhan; yang dikenal dengan "Teror Warman".
Sasaran aksinya kebanyakan Perguruan Tinggi, menjarah uang kas dan membunuh civitas akademika yang dianggap sebagai pembocor informasi ke polisi yang berujung penangkapan Abubakar Ba'asyir, Abdullah Sungkar, dan Abdul Qadir Baraja. Korban Warman diantaranya IAIN Jogja dan IKIP Malang.
Warman dan Abdullah Umar ditangkap pada April 1979, tapi Warman kabur. Ia melanjutkan aksinya hingga dua tahun berikutnya. Pada 1981 ia dikepung aparat ABRI dan tertembak mati di Soreang Kolot, Bandung.
Di tahun yang sama, ada insiden pembajakan pesawat GI DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand. Pelakunya "Jamaah Imran", kelompok pimpinan Imran bin Muhammad Zein, yang sejak 1980 melancarkan serangkaian aksi pembunuhan anggota polisi dan perampasan senjata di Cimahi dan Bandung.
Kelompok ini sebenarnya tidak punya catatan afiliasi dengan DI/Komji. Setelah aksi terakhirnya, penyerangan pos polisi di Cisendo, Bandung, beberapa anak buah Imran diringkus.
Pembajakan Woyla terjadi 2 minggu kemudian. Para pelaku menuntut 1,5 juta dollar dan pembebasan "80 orang teman". Dari tuntutan ini barulah bisa ditarik hubungan dengan DI/Komji, sebab diantara yang dituntut pembebasannya ada nama Hispran, Abdullah Sungkar, Timsar Zubil, dan anggota kelompok Warman.
Imran bin Muhammad Zein diringkus bersama beberapa anggotanya, dan semuanya dihukum mati pada 1983.
Pasca reformasi, dua mantan punggawa Orba beda lini, Adnan Buyung Nasution dan Kivlan Zein, sama-sama menuding pembajakan Woyla rekayasa intelijen Orba. Tudingan itu ditulis keduanya di buku masing-masing, yang dirilis di tahun yang sama, 2004. Adnan dkk. menulis "Pergulatan Tanpa Henti Volume 3", Kivlan menulis "Konflik dan Integrasi AD". Kivlan lebih spesifik menuduh L.B. Moerdani sengaja menggalang ekstrimis Islam untuk membajak Woyla. Tudingan ini dibantah Jenderal M. Jusuf, mantan Pangab yang digantikan Moerdani; menurut Julius Pour penulis biografi Moerdani "Tragedi Seorang Loyalis" (2007). Sayangnya Julius tidak mengurai dengan jelas latar waktu, tempat, dan konteks bantahan M. Jusuf itu.
Kembali ke DI/Komji. Sepemampus Warman pada 1981, aksinya diteruskan oleh Abdullah Sungkar, menggunakan tenaga preman yang direkrut dari Condet, Jakarta.
Dari sini DI/Komji mendekati akhir riwayatnya. Setahun sebelumnya Daud Beureuh diciduk ABRI di Aceh, dan ditahan di Jakarta; sehingga berimbas krisis kepemimpinan DI.
Laskar preman rekrutan Sungkar pun kelak terbantai dalam Ops Petrus, Penembak Misterius; bersama-sama dengan ribuan preman lain yang habis manis sepah dibuang Opsus.
Menjelang Pemilu 1982, preman menjadi opsi yang tersisa untuk dipakai menggembosi lawan Golkar, setelah Suharto kehabisan stok jihadis. Prestasi terbesar "komando preman" ini pada saat memprovokasi kerusuhan pada kampanye PPP di Lapangan Banteng, Jakarta. Mereka direkrut melalui yayasan-yayasan pembina residivis yang cukup banyak bertebaran; salah satunya Yayasan Fajar Menyingsing pimpinan Bathi Mulyono, yang dilindungi oleh Gubernur Jateng Supardjo Rustam. Selepas Pemilu 1982, mereka dikejar dan dibasmi. Bathi sendiri hampir ikut terbunuh selama ops Petrus. Sejak 1983 ia sembunyi di Gunung Lawu, dan baru kembali pada 1985.
Peristiwa Tanjung Priok 1984, jelas terkait dengan designasi wilayah Tanjung Priok sebagai sentra budidaya ternak DI/Komji.
Dalam peristiwa ini sekitar 400 orang demonstran (versi LSM Sontak) tewas oleh peluru tajam dan digilas truk. Demonstrasi dipicu oleh penangkapan warga Tanjung Priok yang membakar sepeda motor milik seorang Babinsa, gara-gara bintara tersebut menyiramkan air comberan ke papan pengumuman Musholla dengan alasan di situ ada tulisan "Suharto germo Kramattunggak".
Pangdam Jaya waktu itu, Try Sutrisno, terselamatkan karirnya dari stigma pembantai umat Islam, berkat kedatangan mendadak Pangab L.B. Moerdani di lokasi - atas perintah langsung Suharto, sehingga Moerdani lah yang harus menyandang gelar "musuh Islam", bahkan hingga kini.
Di mata korban-korban Ali Moertopo, Moerdani toh sosok yang paling sesuai untuk stempel itu; sebagai binaan dan penerus Ali.
Pun peristiwa Talangsari 1989, pemberantasan Jamaah Mujahidin Fisabilillah di desa Talangsari III, Lampung; tidak bisa dipisahkan dengan posisi Lampung sebagai basis terkuat DI/Komji di pulau Sumatera. Operasi jaring itu menghasilkan 130 mayat, menurut rilis Komnas HAM pada 2008.
Cacat permanen citra Islam di Indonesia sudah menghasilkan kemenangan beruntun Golkar di Pemilu 1971, 1977, 1982, dan 1987. Lalu dituntaskan dengan apik oleh aksi kepahlawanan Orba yang sukses memberantas para jihadis, beserta benih-benih latennya; persis nasib simpatisan PKI.
Saat muslim yang tersisa tinggal golongan moderat, maka sudah saatnya bagi Suharto menghentikan perangnya terhadap Islam. Pada 1991 ia naik haji, mendapat tambahan nama dari Kerajaan Saudi menjadi Muhammad Suharto. Pemilu 1992 pun kembali dimenangkan Golkar.
Kelak oleh sebagian kalangan, H.M. Suharto dikenang sebagai Pahlawan Nasional Pembela Islam; khususnya oleh anak-anak kelahiran 1997 yang sekarang sudah tumbuh jenggot syar'i dengan washilah ulekan kemiri.
Pada fase gerakan Reformasi 1998, ada bukti konkret bahwa Komji tidak diberantas habis. Kivlan Zein, tangan kanan Pangkostrad Prabowo Subianto saat itu, mengaku membentuk milisia bersajam yang dinamai Pam Swakarsa (Pengamanan Masyarakat Swakarsa) atas perintah Pangab/Menhankam Wiranto. Tugasnya menghadang aksi mahasiswa. Komposisinya dari kumpulan ormas pemuda Islam pro-Orba, diantaranya FPI, Brigade Hizbullah dan Furkon.
Pada Oktober 1998, saat menghadang massa mahasiswa di Cawang, laskar pemakai jimat ilmu kebal ini hampir dibasmi ratusan warga Jakarta yang melindungi mahasiswa. Mereka tunggang langgang, kehilangan 5 orang personil yang mati dimutilasi warga.
Akhir 2019, 11 tahun kemudian, Kivlan menuntut Wiranto ke pengadilan, minta ganti rugi 1 Trilyun atas jerih payahnya beternak Pam swakarsa. Menurutnya Wiranto saat itu cuma memberi 400 juta, sementara biaya pakan ternak membengkak hingga 8 Milyar, yang harus ditombokinya dengan menjual harta pribadi. Untuk penghadangan mahasiswa yang berbuah peristiwa Tragedi Semanggi itu, ia mengaku mendatangkan 30.000 ekor laskar takut mati dari Banten, Tangerang, Depok, Cianjur, Bekasi, Kerawang, Purwakarta, Bandung, Tasikmalaya, Lampung, dan Makassar.
Sepelengser suharto pada 1998, model budidaya ternak jihadis ini tetap santer dari rezim ke rezim; walaupun tidak dijalankan oleh rezim. Selepas reformasi, ternak jihadis menjadi kumpulan freelancer yang menclok dari satu majikan ke majikan lain; dan terkesan sayang diberantas tuntas karena terlalu bermanfaat bagi elit tertentu.
Abubakar Ba'asyir pendiri Jama'ah Islamiyah, sebagai mata rantai terakhir DI/Komji yang masih hidup di era reformasi, juga menjadi bukti bertahannya kumpulan ini. Aksi-aksi teror dalam 20 tahun terakhir, apapun merek knockoff yang diusung pelakunya, entah JAT, JAD, dan lain-lain, sejatinya tidak bisa dipisahkan dari JI. Sedangkan JI tidak bisa dipisahkan dari DI/Komji.
Sosok Rizieq Shihab yang pernah satu sel dengan Abubakar Ba'asyir pun tidak bisa dipisahkan dari fenomena budidaya ternak jihadis. Ormas FPI yang didirikannya pada Agustus 1998, terlalu dekat jaraknya dengan pembentukan Pam Swakarsa untuk dianggap kebetulan.
Rizieq saat ini sedang melakukan Pengasingan Mandiri di Saudi. Konon masih hidup.
Pola-pola Komji bentukan Opsus yang dibiarkan berulang setelah tumbangnya Orba ini menyuburkan dugaan masih lestarinya Komji hingga kini, walaupun di tangan peternak yang berbeda. Terduga peternak pun tidak mesti dari sisi pemerintah; bisa juga dari sisi musuh-musuh rezim tertentu - baik luar maupun dalam selimut.
Dalam rezim terkini misalnya, pemerintahan Joko Widodo, hanya di periode pertama saja (2014-2019), ada lonjakan yang Extraordinary pada angka kejadian aksi teror : total 341 kejadian.
Angka ini hampir 10 kali lipat dari total jenderal di 2 periode rezim sebelumnya (SBY 2004-2014), yang hanya mengalami 36 aksi.
Dari gamblangnya eksistensi oknum elit yang terkait langsung budidaya ternak Komji, misalnya Kivlan Zein, mestinya tidak sulit mengurai siapa saja dan kalangan mana saja yang terlibat. Sayangnya negara kita tidak sekuat itu.
Hanya tertinggal satu kata : Jasmerah.
Man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh.
Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thoriq,
Wassalamu'alaikum wr. wb.
F. Haryadi, S.Pd
Sekretaris Lajnah Ta'lif wan-Nasyr PWNU Papua
.
Sumber-sumber :
----------------------------
1. "Daur Ulang Militan Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia", Asia Report No. 92, International Crisis Group, 2005.
2. "Gerakan Intelijen pada Kasus Terorisme di Indonesia sejak Komando Jihad sampai ISIS Indonesia", Indra M. Permana & Fadzli Adam, Proceedings of the International Conference on Islamic Civilization and Technology Management, Nov. 2019.
3. "Nasib Tragis Anggota PAM Swakarsa", Suara Independen, edisi 3/IV/November 1998.
4. "Petrus : Kisah Gelap Orba", Historia[dot]id.
5. "Rahasia-rahasia Ali Moertopo", edisi khusus Tempo, 14-20 Oktober 2013.
6. Pengetahuan umum.
✍🏼 Fritz haryadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar