Para pendukung khilafah itu delusional. Mereka delusional soal masa depan, juga delusional soal masa lalu. Salah satu bentuknya adalah klaim delusional mereka soal kerajaan Islam Nusantara yang mengaku berada di bawah Turki Usmani.
Mereka punya delusi bahwa di zaman khilafah itu umat Islam bersatu dalam satu kekuasaan saja. Keberadaan berbagai kerajaan Islam di Nusantara tentu mengganggu delusi mereka soal persatuan itu. Maka mereka mengarang cerita dusta soal kerajaan Islam Nusantara yang menginduk ke Turki tadi.
Sebenarnya sepanjang sejarahnya sendiri pun khilafah itu tidak utuh tunggal. Sejak Dinasti Umayyah dihancurkan oleh Abbasiyah, keturunan Muawiyah mendirikan kerajaan sendiri. Sepanjang sejarah Abbasiyah ada pecahan-pecahan wilayah yang juga mengaku diri mereka sebagai khilafah, yaitu Umayyad, Fatimid, Ayyubid, dan sebagainya. Dalam imajinasi delusional pendukung khilafah, umat Islam selalu berada dalam satu kekuasaan.
Selama masa kejayaan Turki Usmani pun banyak wilayah muslim yang berdiri sebagai kerajaan sendiri. Kekaisaran Mughal, misalnya, adalah kerajaan mandiri yang tidak berada di bawah kekuasaan Turki.
Bagaimana dengan di Nusantara? Pertama, Islam sudah masuk ke sini jauh sebelum masa kejayaan Turki Usmani. Kedua, kerajaan-kerajaan Islam Nusantara berdiri sebagai lanjutan sejarah sebelumnya, bebas dari pengaruh pergerakan sejarah di berbagai tempat di dunia. Kerajaan Demak, misalnya, lahir dari sisa konflik dalam Kerajaan Majapahit. Ketiga, kerajaan-kerajaan itu juga tidak memandang Islam sebagai pemersatu. Di antara mereka sendiri saling berperang. Misanya perang antara Kerajaan Gowa dan Bone.
Apa yang konyol dari klaim itu? Mereka mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan Nusantara menginduk ke Turki, tapi pada saat yang sama Belanda menjajahnya. Mereka hendak mengatakan bahwa wilayah yang menginduk pada khilafah islamiyah itu ternyata justru dikuasai orang kafir. Itu justru bertentangan dengan delusi mereka yang mengatakan bahwa Islam di bawah khilafah itu adalah Islam yang jaya.
Mereka kini mengklaim adanya hubungan erat antara Pangeran Diponegoro dengan Turki Usmani. Seolah Pangeran Diponegoro mendapat bantuan dari Turki. Ahli sejarah Pater Carey mengatakan tidak ada bantuan dari Turki. Yang ada hanyalah kekaguman Pangeran Diponegoro terhadap kerajaan itu. Tidak hanya Diponegoro. Ada banyak jejak sejarah yang menunjukkan pengaruh Turki di Nusantara. Tapi pengaruhnya sebatas pada pertukaran delegasi dan cindera mata.
Turki sendiri tidak mengklaim Nusantara pernah menjadi bagian dari wilayahnya. Konyol sekali kalau ada orang Nusantara yang begitu. Mereka bermental budak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar