Koran Tempo barusan menyerang para pesohor yang ikut mempromosikan tagar #IndonesiaButuhKerja. Mereka dituding sebagai pendengung. Tempo mengharamkan para pesohor itu menerima bayaran dari sebuah event promotif.
Bagi Tempo, tidak boleh ada lembaga lain yang menerima endorse, apalagi berkenaan dengan program pemerintah. Itu tergolong haram.
Sementara pada kesempatan Agustusan ini, akun twitter Tempo mendengungkan cuitan yang jelas-jelas berisi konten promotif. Maksudnya dibayar. Sponsornya adalah PT Freeport. Nah, kalau Tempo yang menerima bayaran, itu gak haram. Malah wajar. Kan, media emang nyari duitnya begitu. Menjadi ruang promotif bagi siapa saja.
Entah bagaimana Tempo memgambil kesimpulan, jika mereka yang melakukan pekerjaan promosi di akun media sosial itu termasuk pekerjaan mulia. Tapi kalau pihak lain yang melakukan hal yang sama, akan habis-habisan dikecam sebagai buzzer. Sebuah tudingan yang hina dina di mata mereka.
Mungkin saja Tempo dan media-media sejenis resah, kalau ada orang per orang mendapat berkah di zaman medsos begini. Apalagi para pesohor yang punya follower banyak. Pasti banyak tawaran untuk mempromo produk atau sebuah isu.
Ceritanya mungkin karena pemerintah sedang gencar mensosialisasikan RUU Omnibus Law. Salah satu kontennya mengenai aturan kemudahan investasi yang akan membuka lapangan pekerjaan. Nama detailnya RUU Cipta Kerja.
Sebagaimana lazimnya sebuah RUU, kehadirannya pasti mengundang pro dan kontra. Ada yang berpikir, memang sudah pantas RUU itu disahkan. Sebab Indonesia memang membutuhkan lapangan pekerjaan yang banyak. Makanya ada pihak yang mau bersusah-susah mendukung kehadiran RUU Cipta Kerja ini dengan mengkampanyekan tagar #IndonesiaButuhKerja.
Tapi ada juga yang menolak. Karena dianggap aturan tersebut akan merugikan buruh. Sayangnya dari banyak yang gue baca, anggapan merugikan buruh itu sendiri banyak didasari informasi hoax. Misalnnya soal upah buruh yang menurun. Padahal dari draft RUU yang gue tahu, UMR tetap berlaku. Hanya saja menjadi UMR propinsi. Bukan UMR Kabupaten atau Kota.
Sudah menjadi rahasia umum kalau soal penetapan UMR ini, sering gak rasional. Apalagi saat menjelang Pilkada. UMR dijadikan salah satu isu para kandidat untuk persaingan politik.
Bayangin kan. Kalau sesuatu yang mestinya dihitung dengan ukuran rasional, diterjemahkan dengan pendekatan politik. Hasilnya ya, kacau. Kalau iklim usaha kacau kan, buruh juga yang dirugikan.
Selain itu soal cuti. Kata yang sering protes, cuti hamil gak diatur dalam RUU Cipta Kerja. Mereka berkesimpulan, karena gak diatur maka cuti hamil dihapuskan. Orang gak boleh cuti saat melahirkan.
Ini lagi yang aneh. RUU itu mengatur yang seharusnya diatur. Jika soal cuti melahirkan gak diatur, maka berlaku aturan yang lain. Karena UU Ketenagakerjaan mengatur soal cuti melahirkan, artinya cuti melahirkan tetap ada. Sesuai dengan UU yang ada.
Jadi apapun yang secara khusus gak diatur dalam UU yang baru, otomatis berlaku peraturan yang lama.
Demikian juga soal dampak lingkungan. Diprotes karena katanya RUU ini memudahkan usaha, dengan resiko berdampak pada kelestarian lingkungan.
Hallo. Makanya baca lagi deh. Yang diatur itu adalah mekanisme pengukuran dampak lingkungan yang rasional. Bukan hanya administratif. Kalau untuk jenis usaha yang gak menggunakan bahan bahaya, ya gak usah diada-adain masalahnya. Jika sebuah kawasan industri punya kajian AMDAL, merujuk aja kesana. Gak perlu lagi setiap usaha ngurus izin lingkungan sendiri.
Sebetulnya begini. Untuk sebuah RUU, wajar ada pro kontra. Yang pro bermaksud agar RUU itu disahkan. Yang kontra juga maunya menjegal. Jika yang pro adalah para pesohor, apa salahnya mereka ikut mengkampanyekan pikirannya. Karena pesohor punya banyak follower, wajar juga jika ada lembaga yang memberikan kontraprestasi atas dukungannya itu.
Dalam dunia public relation, itu hal biasa. Membangun opini publik. Bukan suatu yang haram. Sebagai media, bohong kalau Tempo gak pernah terlibat dalam cara kerja kayak gini.
Yang kurang ajar itu, ketika ada pihak yang merasa opininya suci sendiri. Mereka yang berlawanan dianggap melakukan pekerjaan haram.
Tempo sebetulnya udah gak punya kapasitas moral ngomong soal bozar bazer. Wong mereka sendiri, adalah buzzer yang paling kentara. Cuma lagaknya aja kayak malaikat. Seolah semua tindakannya gak pake ukuran duit.
Padahal Tempo, ya bisnis media. Tujuan bisnis, ya cari untung. Salah satunya dengan pembentukan opini publik.
[Eko Kuntadhi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar