Kamis, 23 Juli 2020

Delusi dan Teror oleh Orang Beragama


 1761, kota Toulouse, Prancis. Zaman ketika orang-orang Katolik berkuasa, hiduplah Jean Calas yang beragama Protestan (minoritas). 

Sebagai warga Negara kelas dua yang penuh diskriminasi. Zaman itu beberapa profesi pekerjaan tidak boleh dijabat oleh orang protestan, seperti doctor, tentara, pengacara dan sebagainya.

 Tapi bukan itu yang membuat Jean Calas menderita atau sedih. Tidak juga mempermasalahkan ketika anak perempuannya memutuskan untuk pindah agama katolik. Yang membuat menderita dan sedih Jean Calas ketika anak lelakinya didapatinya mati karena bunuh diri.

 Di kota Taulouse zaman itu ada undang-undang; Orang yang melakukan bunuh diri, mayatnya akan diarak keliling dan jadi tontonan orang banyak. 

Dalam posisi tubuh bugil diikat pada sebuah tiang, reaksi yang lazim dilakukan orang zaman itu pada mayat yang telah membeku itu adalah dengan melempari batu sambil nyumpah-serapah dan mengutukinya.

 Jean Calas tidak ingin nasib jasad anaknya jadi mainan seperti itu. Naluri kasih-sayangnya sebagai orang tua, dia tidak bisa terima jika jenasah anaknya dinista-hinakan jadi tontonan seperti itu. 

Jean Calas-pun kemudian membujuk dan meminta sanak saudara dan tetangganya untuk mau bersaksi, bahwa anaknya meninggal karena kematian yang wajar bukan karena bunuh diri.

 Tapi apa yang terjadi tidaklah seperti apa yang diharapkan. Sikap jean Calas yang ingin menarik empati orang-orang disekitarnya, justru berubah jadi desas-desus dan cerita liar; Jean Calas membunuh anaknya sendiri, karena sang anak mau pindah agama Katolik seperti saudara perempuannya!

Jean Calas tidak bisa membela diri lagi. Diapun langsung ditangkap, di penjara dan disiksa sampai mati.

 Masih di Prancis, di tahun 1765. Ada seorang anak muda berusia 16 tahun, dituduh merusakkan salib. 

Setelah ditangkap dan disiksa, si anakpun mengaku. Dan si anak dihukum di potong lehernya dan tubuhnya dilemparkan ke api. Dan massapun bersorak.

 Jauh beberapa abad ke belakang di Jerman. Pada tahun 1524-1526, terjadi pemberontakan petani yang sudah terlampau lama merasa ditindas oleh gereja yang menyatu dengan Negara. 

Tapi para petani hanya mengandalkan artileri buatan sendiri ditambah doa dan kotbah dari Thomas Munzer seorang pengkhotbah radikal. Sementara pasukan para pangeran mengunakan kanon.

 130.000 petani-pun tewas. 5000 orang yang ditaklukkan-pun dibunuh. 300 tawanan dijatuhi hukuman mati. 

Saat istri-istri mereka meminta ampunan, permintaannya disetujui. Dengan syarat, para wanita itu harus menghantam kepala para pendeta yang mengobarkan pemberontakan itu, sampai otaknya berhamburan. Dan mereka setuju!

 Bagaimana  cinta-kasih dan ampunan yang jadi ajaran Yesus bisa melahirkan pengikut yang begitu keji, penuh amarah dan dendam?

Dan mohon jangan tersenyum sinis dulu melihat para bigot bersorak dan membantai mereka yang bukan golongannya di Eropa pada abad kegelapan itu. Karena benih-benih mental para bigot itu saat ini juga ada dihadapan kita. 

 Bukankah pernah terjadi amuk massa, membakar rumah ibadah dan rumah etnis tertentu hanya gara-gara ada seorang wanita ngrumpiin suara toa masjid yang terlalu keras? 

Bukankah ada seorang gubernur yang terpilih karena meng-eksploitasi politik ayat dan mayat? 

Bukankah ada pengrusakan situs-situs/punden yang di hormati masyarakat adat oleh ormas tertentu, ada penghadangan dan intimidasi pada masyarakat yang mau lakukan sedekah bumi/laut? 

 Itu semua adalah benih-benih para bigot abad kegelapan di Eropa yang jelas ada didepan mata kita. 

Bom bunuh diri yang berulang-kali melukai negeri ini, bukti nyata tak terbantahkan sebuah kekejian, egoisme dan ketolollan yang dibungkus kesucian agama.

 Saya tidak mengatakan Islam dan Kristen sebagai agama delusi dan terror. 

Karena banyak orang Islam maupun Kristiani yang saya kagumi dan penuh rasa kemanusiaan dan persaudaraan pada siapa saja tanpa memandang apa agama orang itu. 

Contoh, Abdul Ghafar Khan (muslim yang dijuluki Gandhi garis depan}, bunda Teresa dari Kalkuta, dikita ada juga Gus Dur, juga romo Mangun (YB. Mangunwijaya) dan masih banyak lagi.

 Jadi agama itu memang benda mati yang netral. 

Bagaimana kemampuan kita dalam menginterprestasi, tafsir, ijdtihad itu yang akan menentukan output macam apa yang akan keluar dari keberagamaan seseorang itu. 

Jadi agama bisa sebagai alat memperhalus budi dan kepekaan rohani, tapi bisa juga sebagai alat yang efektif untuk memperbodoh umat dan memperkeras/butakan hati nurani. 

Dan manusia-manusia model terakhir ini yang hanya akan memperlihatkan wajah agama yang penuh delusi dan terror.

 Jadi baik mereka yang ngaku beragama ataupun mereka-mereka yang biasa dituduh menyembah pohon, sama-sama punya peluang untuk jadi orang baik maupun jahat. 

Hanya seumur-umur, sepertinya saya belum pernah dengar adanya perang atas nama pohon tertentu yang disucikan. 

Tidak pernah ada amarah, kebencian dan pembantaian atas nama membela sebuah pohon tertentu.

 Pada pohon saja mereka hormat, cintai dan rawat, apalagi pada sesama manusia. 

Lho, kok tiba-tiba saya merasa ajaran pohon itu lebih mulia, indah dan realistis daripada ajaran agama yang katanya dari langit tapi penuh delusi dan terror. 

✍️ Sami Mawon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar