Senin, 16 Oktober 2023

Paradoks Kutub Ramadhan

 



Oleh July Temon

Setiap bulan Ramadhan tiba, saya selalu bersyukur karena tinggal di kawasan sekitar khatulistiwa, sebab jeda antara siang dan malam tidak terlalu jauh, sehingga jadwal puasa saya tidak sampai lebih dari 13 jam seperti saudara² muslim saya yg tinggal di garis lintang tinggi yg bisa berpuasa sampai lebih dari 14 jam lamanya.
Soalnya dalam hukum fiqih, ketetapan waktu sholat dan waktu berbuka puasa sangat ditentukan oleh waktu terbit dan terbenamnya matahari. Mungkin hal ini sah-sah saja bagi orang yg tinggal di sekitar khatulistiwa, namun pada kenyatannya, semakin kita dekat ke arah kutub, waktu siang atau malam bisa semakin panjang hingga beberapa bulan.
Tentu dengan ketidakstabilan antara porsi siang dan malam akan merusak waktu sholat, dan juga tidak mungkin melalukan ibadah puasa pada jangka waktu seperti itu.
Para ulama kemudian melakukan ijtihad dan berpendapat bahwa umat Islam bisa melakukan ibadah puasa dengan menyesuaikan waktu dari negaranya masing-masing atau mengikuti waktu dari negara terdekat yg masing memungkinkan untuk melakukan ibadah puasa. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa umat Islam tetap wajib berpuasa selama lebih dari 20 jam.
Berikut beberapa kota dengan jendela puasa terlama;
*Oslo, Norwegia (20 jam 16 menit)
*Juneau, Alaska (19 jam 42 menit)
*Reykyavik, Islandia (22 jam 28 menit).
Kebimbangan
Nah, ada banyak kontroversi mengenai fatwa di atas, jika seseorang Muslim bisa mengikuti waktu puasa dari negara asalnya, lantas bagaimana dengan warga lokal kutub atau komunitas Muslim yg sudah lama menetap di kawasan kutub? Terus ketika datang ke daerah di mana hari diperpanjang menjadi minggu atau bahkan berbulan bulan, jendela waktu puasa untuk "negara terdekat" di mana jendela puasa di bawah satu hari, kerangka waktu biasanya masih mendekati 24 jam.
Masalah Astronot
Lebih membingungkan lagi dengan posisi dan waktu astronot ketika hendak menunaikan sholat. banyak pertanyaan muncul, bagaimana penetapan waktu sholat dan puasa bagi astronot yg tinggal di stasiun ruang angkasa, bulan atau planet lain?
Bayangin saja ketika astronot berada di wanahana antariksa yg berpergian jauh dari bumi, di mana tidak pernah ada waktu bagi matahari untuk terbenam, terus kapan waktu sholat bisa dimulai?
Kemudian bagaimana ketentuan arah kiblat bagi astronot?
Beberapa ulama berfikir bahwa astronot bisa sholat menghadap ke bumi, jika benar begitu, ketika ada astronot di mars, lalu posisi bumi ada di atas langit mars, apakah itu berarti astronot harus sholat dalam keadaan berbaring?
Sebenarnya masalah di atas dapat teratasi jika bumi ini berbentuk datar... dan bumi ini adalah satu²nya tempat berpijak di jagad raya.
Dan tentu saja persoalan ini akan terus menimbulkan perdebatan di kalangan fuqaha, sebab dalam Islam, bentuk bumi itu bukanlah bulat seperti yg selama ini diyakini oleh para ilmuwan, melainkan berbentuk karpet yg direntangkan (hamparan).
Mengingat Nabi Muhammad dan para sahabatnya hidup di gurun pasir Arab pada abad ke-7, di mana rentang waktu siang dan malang hampir sama atau tidak terlalu jauh, serta sudut pandang masyarakat zaman itu yg meyakini bahwa bumi itu tampak datar, maka wahyu yg diturunkan juga menyesuaikannya dengan kondisi geografis yg diketahui oleh masyarakat yg bersangkutan.

Sumber:
*"Indeed, the fasts may be twenty hours long, but this is something one will have to adhere to." Fasting in extreme latitudes - Sunnipath.com Q&A
* Behrouz Saba - First Female Muslim Astronaut Could Help Bridge U.S.-Iran Gap - New America Media, September 20, 2006



Tidak ada komentar:

Posting Komentar