Jumat, 17 April 2020

Mengenang Curhatan Religius Kartini

Mengenang Curhatan Religius Kartini

Semasa hidupnya, Raden Ajeng Kartini yang dilahirkan pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah adalah wanita yang tumbuh dewasa di lingkungan sebuah keluarga besar keturunan ningrat. Ketika beranjak usia 16 tahun, Kartini mulai diperbolehkan berinteraksi dengan lingkungan di luar rumahnya. Pada rentang tahun 1894-1897, sang ayah (seorang ningrat sekaligus sebagai Bupati Rembang) telah mengijinkan Kartini untuk berinteraksi sosial dengan istri dari pembantu keresidenan. Selain itu, sebagai anak pribumi berdarah biru (Kartini juga adalah cucu dari Pangeran Ario Tjondronegoro dari Kerajaan Demak) dan fasih berbahasa Belanda, Kartini pun mampu mengenyam pendidikan di sekolah millik Belanda, yaitu HBS (Hogere Burger School) dan ELS (Europeesche Lagere School). HBS dan ELS adalah sekolah yang bahasa pengantarnya 100% bahasa Belanda.

Tahun 1899 merupakan tahun yang penting untuk Raden Ajeng Kartini. Usia Raden Ajeng Kartini telah 20 tahun. Dari hobi membacanya, Raden Ajeng Kartini tahu banyak tentang pergerakan kaum wanita di Eropa. Raden Ajeng Kartini menjadi sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang gagasan-gagasan kaum perempuan di Eropa. Lantas, Raden Ajeng Kartini pun memberanikan diri untuk memasang iklan di sebuah majalah Belanda. Iklan tersebut menyatakan bahwa Raden Ajeng Kartini ingin memiliki seorang sahabat pena wanita dari bangsa Eropa. Iklan tersebut menarik perhatian seorang wanita Belanda dari Amsterdam bernama Estelle Zeehandelaar alias Stella, hingga akhirnya Stella menjadi salah seorang sahabat pena sekaligus sahabat karib Raden Ajeng Kartini. Stella adalah seorang wanita Yahudi Belanda yang menikah dengan seorang lelaki Belanda non Yahudi.

Berawal dari hubungan silaturahmi dengan istri asisten keresidenan, kemampuan berbahasa Belanda yang baik, hobi membaca yang begitu besar, ditambah dengan pertemuan dengan J.H Abendanon (Menteri Pendidikan dan Industri Belanda ketika itu) beserta istri ketika mereka berkunjung ke Jepara pada tahun 1900, Raden Ajeng Kartini menjelma menjadi wanita cerdas dan kritis terhadap lingkungannya. Sepanjang hidupnya, semua pandangan kritis-konstruktif Raden Ajeng Kartini terlihat dalam surat menyurat berbahasa Belanda dengan para sahabat penanya, yaitu: Dr. Adriani, J.H Abendanon, Rosa Abendanon-Mandri (wanita berdarah Spanyol, istri J.H Abendanon), Estella “Stella” Zeehandelaar (Stella juga adalah teman dari Snouck Hurgronje), dan seorang lagi wanita Belanda yang oleh Raden Ajeng Kartini dipanggil Nyonya Ovink-Soer. Di usia 25 tahun, tepatnya pada 17 September 1904, Raden Ajeng Kartini meninggal dunia karena komplikasi ketika melahirkan seorang bayi laki-laki.


Mengenang Curhatan Religius Kartini
Rosa Abendanon-Mandri & J.H Abendanon

Pada tahun 1905, setelah pensiun dari kedinasaannya, J.H Abendanon mengumpulkan surat-surat berbahasa Belanda yang dikirim Raden Ajeng Kartini kepada istrinya dan Stella untuk disusun menjadi sebuah buku. Jumlah surat yang berhasil dikumpulkannya adalah sebanyak 106 surat. Setelah J.H Abendanon mengedit surat-surat tersebut, disusunlah 106 surat-surat Raden Ajeng Kartini itu menjadi sebuah buku dengan judul:Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan diterbitkan pada tahun 1911 di Kota Den Haag, Belanda. Kemudian pada tahun 1921, di Inggris terbit sebuah buku terjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris berjudul: Letters of a Javanesse Princess. Buku ini merupakan terjemahan 78 surat dari 106 surat yang terdapat di dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Selanjutnya, di bawah ini terdapat 9 “curhatan” religius Raden Ajeng Kartini kepada para sahabat penanya yang dikutip dari buku Letters of a Javanesse Princess:
  • 1. Tapi kejahatan yang lebih besar daripada alkohol adalah opium. Oh! Penderitaan, mimpi buruk paling menakutkan telah datang ke negeriku! Opium adalah wabah bagi Jawa. Ya, Opium jauh lebih mengerikan daripada wabah penyakit, (Jepara, 25 Mei 1899, kepada Estella Zeehandelaar).
  • 2. Hukum Islam membolehkan seorang lelaki untuk memiliki 4 orang istri secara bersamaan. Meskipun hukum Islam menyatakan itu tidak berdosa, Aku akan selamanya menyebut itu dosa. Aku menyebut dosa terhadap segala sesuatu yang menimbulkan penderitaan terhadap sesama makhluk, (6 November 1899, kepada Estella Zeehandelaar).
  • 3. Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada yang bisa bahasa Arab. Membaca Al Qur’an memang sudah menjadi kebiasaan di sini, tapi tidak ada seorangpun yang paham apa yang dibacanya. Bagiku, sungguh bodoh membaca sesuatu tapi tidak paham apa yang dibacanya, (Jepara, 6 November 1899, kepada Estella Zeehandelaar).
  • 4. Dan sejujurnya, Aku adalah muslim hanya karena para leluhurku beragama Islam. Bagaimana Aku bisa mencintai suatu agama yang tidak Aku ketahui ajarannya bahkan mungkin Aku tidak akan pernah tahu?, (6 November 1899, kepada Estella Zeehandelaar)
  • 5. Kami (Kartini sekeluarga) menaruh simpati besar atas kerja para misionaris Kristen di Hindia Belanda, dan kami mengagumi keluhuran budi pekerti mereka yang mau tinggal di hutan liar terpencil, jauh dari keluarga dan teman dalam rangka membawa pencerahan hidup kepada orang-orang yang oleh dunia luar disebut “orang-orang tidak beradab”, (19 Maret 1901, kepada Dr. Adriani)
  • 6. Seorang muslimah tidak akan pernah dewasa. Jika seorang muslimah ingin bebas, dia harus menikah dulu, kemudian diceraikan. Jadi Kami harus mendeklarasikan sendiri di suatu masa, dan memaksa dunia untuk mengakui kemerdekaan Kami, (17 Mei 1902, kepada Estella Zeehandelaar).
  • 7. Tiada Tuhan selain Yang Maha Kuasa, begitulah keyakinan Kami kaum muslim, dan bagi kami, semua umat monotheis, Tuhan adalah Penguasa, Maha Pencipta. Tapi kami sangat dikekang oleh suatu keadaan bahwa Kami kadangkala diarahkan untuk antipati terhadap semua agama. Pemeluk satu agama memandang rendah terhadap pemeluk lain yang berbeda agama, menghina, membenci, dan terkadang, saling bunuh; tapi sudah cukuplah tentang hal itu untuk saat ini, (12 Juli 1902, kepada`Nyonya Ovink-Soer)
  • 8. Tahun datang silih berganti; Kami disebut muslim karena Kami menganut Islam secara turun temurun; dan Kami hanya tercatat resmi sebagai muslim, tidak lebih, (15 Agustus 1902, kepada J.H Abendanon).
  • 9. Kita mengira bahwa cinta adalah agama tertinggi, dan haruskah seseorang terlebih dulu menjadi seorang nasrani untuk mengasihi sesama atas nama perintah Tuhan? Karena umat Buddha, Hindu, Yahudi, Muslim,dan bahkan penyembah berhala sekalipun bisa memandu hidup mereka sendiri dengan cinta suci, (12 Desember 1902, kepada Rosa Abendanon-Mandri)

Curhatan religius di atas tampaknya masih layak untuk menjadi bahan renungan kekinian, karena menggambarkan betapa dulu Raden Ajeng Kartini begitu membutuhkan pembimbing untuk mempelajari agama dan menjalankan toleransi agama secara benar, seperti halnya kebanyakan masyarakat Indonesia pada jamannow. Selamat Hari Kartini!

Sumber:
Raden Ajeng Kartini, Letters of Javanese Princess, Translator from Dutch to English: Agnes Louise Symmers, Duckworth & Co., London, 1921.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar