Minggu, 03 Oktober 2021

Kesaksian Mantan Satpam: Bendera HTI di KPK itu Bukan Hoaks

 Sosok Iwan Ismail tiba-tiba muncul di tengah keriuhan pemberhentian pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) per akhir September lalu. Mantan tenaga pengamanan dalam (Pamdal/Satpam) KPK itu membuat surat terbuka yang ditembuskan ke Presiden Jokowi.

"Intinya sih saya terinspirasi dari beberapa surat surat terbuka yang saya baca di media sosial. Kedua, saya teringat kembali ketika kemarin teman- teman diberhentikan dengan hormat di KPK, bahwa saya juga pernah diberhentikan," jelas Iwan saat ditemui di detik.com di kamar kontrakannya di Meruya, Jakarta Barat.


Pada 26 Desember 2019 dia resmi diberhentikan sebagai Pamdal setelah dianggap melakukan pelanggaran berat. Pelanggaran dimaksud adalah memotret bendera HTI di meja ruangan penyidik di lantai 10 Gedung KPK. Foto tersebut lantas ada yang mengunggahnya di media sosial.


"Saya tidak pernah menyebarkan foto itu di media sosial. Saya hanya membagikannya di grup Whats App yang anggotanya kawan-kawan saya di Bandung," katan lelaki kelahiran Bandung, 8 Septermber 1983 itu.

Iwan yang mengaku pernah kuliah jurusan Bahasa Inggris hingga semester VI di Universitas Islam Nusantara, Bandung memotret bendera HTI seiring aksi-aksi demo menolak revisi UU KPK. Tapi sejak awal menjadi satpam di KPK pada Februari 2018, dia mengaku pernah melihat bendera HTI di dua meja penyidik.


"Saya heran saja, bendera ormas yang sudah dilarang kok masih ada yang pasang. Terus saya potret sengaja sambil menghadap kamera CCTV. Eh, saya dianggap melanggar berat padahal pemilik benderanya tak pernah diperiksa," kata Iwan.

Dia menepis pernyataan Juru bicara KPK Ali Fikri bahwa apa yang disampaikan adalah hoaks. "Ini bukan hoaks, bendera itu benar ada, bisa diperiksa rekaman CCTV waktu saya motret," tegas Iwan Ismail. Sejak diperiksa Pengawas Internal, ia mengaku ada yang menyapanya, "Iwan Taliban".

"Saya hanya mengambil foto bendera yang mungkin menyebabkan KPK gaduh dan dicap Taliban. Tapi malah saya pun ada yang memanggil Iwan Taliban," ujarnya.

Sejak dari KPK, bapak tiga anak itu bekerja sebagai satpam di perumahan milik bank plat merah di kawasan Meruya. Dia tinggal sendirian di kos-kosan berukuran 3x4 meter.

(ddg/jat)

Baca artikel detiknews, "Kesaksian Mantan Satpam: Bendera HTI di KPK itu Bukan Hoaks" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5750611/kesaksian-mantan-satpam-bendera-hti-di-kpk-itu-bukan-hoaks.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Mantan Pegawai Blak-blakan soal Bendera HTI di Gedung KPK

 Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tata Khoiriyah blak-blakan ihwal kontroversi yang diduga bendera Hizbut Tahrir (HTI) berada di meja salah satu penyidik.

Pernyataan itu tersebut Tata ungkapkan dalam sebuah tulisan yang ia unggah di laman Facebook pribadinya. Tata juga mengunggah screenshot tulisan tersebut di akun Twitter miliknya, @tatakhoiriyah.

"Saya sedih karena narasi itu muncul dan beredar di kalangan nahdliyyin. Circle yang sama dengan saya. Sehingga saya punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan," kata Tata dalam tulisannya, seperti dikutip Minggu (3/10).

Pangkal masalah ini bermula dari surat terbuka petugas keamanan (satpam) di KPK, Iwan Ismail yang mengaku mendapat perlakuan tidak adil. Dalam surat itu, Iwan mengaku dipecat setelah memotret bendera tersebut di lantai 10 Gedung KPK.

Terkait hal itu, Tata menjelaskan bahwa Iwan sebetulnya merupakan pegawai tidak tetap (PTT) yang ditempatkan di bagian pengamanan rutan. Tugasnya sehari-hari adalah pengamanan terhadap tersangka dari rutan KPK atau rutan lainnya selama menjalani pemeriksaan.

Oleh karena itu, menurut dia, Iwan memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK. Menurut Tata, sistem pengamanan di KPK sangat ketat dan dibatasi.

Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas. Ia berujar, saat masih bekerja di Biro Humas KPK, ia hanya dapat mengakses ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan.

Menurut Tata, ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntut, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di laintai itu sendiri.

"Foto di mana bendara HTI tersebut diambil di lantai 10 ruang kerja penuntutan yang diisi oleh para jaksa yang ditempatkan/dipekerjakan KPK. Mas Iwan ini tidak memiliki akses masuk ruangan tersebut," tulis Tata.

"Lantas dari mana Mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan," kata dia melanjutkan.

KPK sebelumnya mengonfirmasi pemecatan Iwan beberapa waktu lalu. Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Iwan dipecat karena dianggap menyebarkan berita palsu yang menyesatkan.

"Disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal," kata Ali.

Menurut Ali, perbuatan Iwan juga telah menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK.

Ali menjelaskan, pihaknya juga sudah memeriksa beberapa saksi, bukti, dan keterangan lain yang mendukung usai foto bendera HTI itu tersebar di media sosial. Hasilnya, pegawai yang memasang bendera tersebut terbukti tidak memiliki afiliasi dengan HTI, sehingga tidak terdapat peraturan yang melarang atas perbuatannya.

Berikut tulisan lengkap mantan staf KPK Tata Khoiriyah terkait masalah bendera yang menjadi kontroversial tersebut
Kontroversi bendera HTI di meja pegawai KPK. Apa yang sebenarnya terjadi?

Saya menulis sedikit penjelasan karena pertanyaan yang sama berulangkali datang untuk sekedar mengkonfirmasi. Benarkah berita tersebut? Apakah ada klarifikasinya? Awalnya saya hanya balas selewatan. lama-lama berujung pada diskusi panjang. Sampai akhirnya ketika situasi krisis, berita lama itu dimunculkan kembali untuk pembenaran atas alasan tes wawasan kebangsaan yang ujungnya menyingkirkan saya sebagai pegawai tetap KPK.

Saya sedih karena narasi itu muncul dan beredar di kalangan nahdliyyin. Circle yang sama dengan saya. Sehingga saya punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan meski sebenarnya saya masih memfokuskan diri dengan hiruk-pikuk TWK. Disamping itu, saya tidak ingin para nahdliyyin menjadi korban dari hoax yang sengaja disebarkan, sehingga keberpihakannya pada KPK tidak obyektif. Saya sampaikan dalam tulisan panjang supaya sekaligus menjadi arsip bagi saya kelak apabila isu ini kembali muncul.

Di tengah ramainya pemberhentian 57 pegawai KPK lewat assesment Tes Wawasan Kebangsaan, beredar kabar pengakuan seorang mantan pegawai KPK yang dipecat karena menyebarkan foto bendera (liwa') yang diasumsikan dengan sebuah gerakan HTI. Mungkin penjelasan yang bisa saya sampaikan tidak sepenuhnya bisa menjawab keyakinan para pembaca. Karena preferensi politik, kubu tokoh, dan kelompok tentu mempengaruhi cara berpikir dan saringan informasi anda.

Ada poin penting yang saya jelaskan terkait beredarnya pesan siar dari Mas Iwan Ismail yang juga sesama nahdliyyin;

1. Mas Iwan ini adalah pegawai tidak tetap (PTT) yang ditempatkan di bagian pengamanan rutan (rumah tahanan). Tugas yang diemban adalah pengamanan terhadap tersangka dari Rumah Tahanan KPK atau rutan lainnya selama menjalani penanganan perkara (pemeriksaan, persidangan dan eksekusi). Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK. Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi. Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya. Saat saya masih menjadi bagian Biro Humas KPK, saya hanya bisa mengakses ruangan-ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan. Bahkan saya tidak bisa membuka pintu ruang kerja atasan saya sendiri. Ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntutan, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di lantai itu sendiri. Termasuk pramusaji (OB) dan petugas kebersihan di lantai tersebut.

Foto dimana bendera HTI tersebut diambil di Lt. 10 ruang kerja penuntutan yang diisi oleh para Jaksa yang ditempatkan/dipekerjakan KPK. Mas Iwan ini tidak memiliki akses masuk keruangan tersebut. Lantas dari mana mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan.

2. Mas Iwan bilang kalau akibat foto bendera tersebut viral, dirinya diperlakukan seolah-olah seperti tersangka. Mungkin Mas Iwan belum tahu atau mungkin lupa bahwa pekerjaan KPK berkaitan dengan hal-hal yang confidential (rahasia). Sehingga banyak aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang membutuhkan kebijaksanaan dalam bersikap sehari-harinya. Karena ruang kerja tim penindakan hanya diakses terbatas, maka foto-foto yang beredar pun di dalamnya sangat dikontrol. Tidak semua ruangan diperbolehkan ambil foto-foto. Yang perlu digaris bawahi adalah bukan karena viralnya foto tersebut Mas Iwan diberhentikan. Tapi karena foto tersebut disebar ke publik tanpa ada klarifikasi, tanpa ada penjelasan dan dalam pemeriksaan Pengawas Internal ditemukan pelanggaran etik, bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK.

Mungkin Mas Iwan tidak tahu bahwa saat itu isu Taliban tengah dilemparkan ke publik untuk menyerang kredibilitas KPK. Sehingga kepercayaan publik menurun bahkan mempertanyakan kenetralan KPK. Padahal saat itu KPK sedang butuh-butuhnya dukungan publik karena menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Beredarnya foto tersebut dinilai merugikan citra KPK dimata publik.

3. Bagaimana nasib pegawai KPK yang mejanya terdapat bendera tsb? Perlu diketahui, meja tersebut milik pegawai negeri yang sedang dipekerjakan (PNYD) di KPK. PNYD yang dimaksud adl ASN dari kementerian atau lembaga pemerintah lain, polisi, dan jaksa yang dipekerjakan KPK dg batas waktu maksimal 10 tahun. Proses rekruitmennya tentu dilakukan lewat mekanisme masing2 instansi. Sehingga dalam proses alih status pegawai KPK kemarin tidak mengikuti TWK yang kontroversial. Kan statusnya sudah ASN dong. Pemilik meja bukan pegawai independen KPK yg proses rekruitmennya dilakukan oleh KPK secara mandiri. Bendera tersebut berada di meja dari seorang jaksa, dan jaksa tersebut bukan bagian dari 57 yang disingkirkan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi.

Kembali ke soal bendera, sama dengan Mas Iwan, pemilik meja yang ada benderanya, diperiksa juga oleh Pengawas Internal KPK. Bahkan Ia diperiksa juga oleh instansi asalnya. Dicari juga kronologi kenapa bisa bendera tersebut masuk dan tersimpan di meja tersebut. Pemilik meja juga diperiksa sama dengan Mas Iwan apakah memiliki keterkaitan dengan gerakan dan organisasi tertentu? Dan kesimpulannya pemilik meja tidak memiliki keterkaitan dengan afiliasi tertentu.

Tidak ada perlakukan yang berbeda dalam pemeriksaan di Pengawasan Internal KPK. Informasi yang saya dapatkan dari salah satu Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP), dalam proses persidangan, Mas Iwan terbukti melakukan kesalahan dan mengakuinya. Mas Iwan ini dinyatakan bersalah atas: masuk ruang kerja yang bukan menjadi ranah/kewenangannya, terbukti dengan sengaja dan tanpa hak telah menyebarluaskan informasi tidak benar kepada pihak eksternal, Menuduh orang terlibat HTI tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu. Disamping itu, Mas Iwan sendiri tidak profesional, apabila ia memiliki dugaan atas pelanggaran etik lewat bendera tersebut, harusnya ia melaporkan ke atasan langsung. Namun yang dilakukan olehnya adalah menyebarluaskan ke publik.

4. Dalam proses persidangan etik Dewan pertimbangan pegawai (DPP) memanggil saksi ahli yang dapat menjelaskan apakah benar bendera tersebut adalah bendera HTI. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang perbedaan-perbedaan bendera. Sehingga DPP dapat mengambil kesimpulan yang objektif dalam sidang etik tersebut. Informasi yang saya dapatkan, saksi ahli yang diundang adalah tim ahli dari Kemenag RI. Pemilihan tersebut tentu mempertimbangkan posisi perwakilan bisa jadi jembatan yg netral untuk masukan para Dewan Pertimbangan Pegawai. Penjelasan saksi ahli menyimpulkan bahwa bendera tersebut bukan bendera HTI.
(Penjelasan siapa saksi ahli diedit tgl 3 Okt).

5. KPK mewajibkan pegawainya untuk netral dari berbagai afiliasi, entah himpunan, ikatan profesi, parpol, bahkan organisasi massa. Saya sendiri pun menandatangani pakta integritas tersebut di awal bekerja. Saya harus melepaskan berbagai identitas yang pernah melekat seperti: Alumni PMII, IPPNU, dan terakhir GUSDURian. Sehingga tidak bisa dibenarkaan bahwa foto bendera yang diasumsikan HTI tersebut menjadi bukti bahwa ada taliban di KPK tanpa mengetahui konteks dan kronologi mengapa bendera tersebut ada di lt.10. Saya kira penuduhan taliban itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa 57 pegawai KPK pantas diberhentikan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi. Karena faktanya di dalam 57 pegawai KPK tersebut ada 6 orang nasrani (salah satunya adalah pendiri Oikumene KPK), ada budhis, ada hindu, dan ada sebagain besar nahdliyyin seperti saya contohnya.

Informasi sampingan yang cukup menarik diketahui, pejabat yang memantau dan memastikan sidang etik ikut disingkirkan lewat Tes Wawasan Kebangsaan. Padahal beliau ini juga menegur pegawai yang mejanya terdapat bendera tersebut.

Kami terus melakukan perlawanan bukan karena masalah pekerjaan semata, tapi karena ketidakrelaan kami KPK menjadi kehilangan ruh pemberantasan korupsi seperti transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam peralihan status pegawai.

Mungkin demikian penjelasan saya yang panjang. Hal ini saya lakukan supaya teman-teman bisa mengambil pelajaran untuk terus melakukan konfirmasi terhadap setiap berita/informasi yang beredar. Supaya kita terhindar dari jebakan stigma dan prasangka yang berlebihan.

Tata Khoiriyah
Masih Nahdliyyin,
Pernah menjadi pegawai Fungsional KPK di Biro Humas,
Disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang melanggar HAM dan maladministrasi

Baca artikel CNN Indonesia "Mantan Pegawai Blak-blakan soal Bendera HTI di Gedung KPK" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasiona...-gedung-kpk/2.

Sabtu, 02 Oktober 2021

Bejat! 2 Pengasuh Pesantren di Sumsel Cabuli hingga Sodomi 30 Santri

 Bejat! 2 Pengasuh Pesantren di Sumsel Cabuli hingga Sodomi 30 Santri


Jakarta, Insertlive -

Dua orang pengasuh sebuah pondok pesantren di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, berinisial J (22) dan IA (20) ditangkap polisi.

Keduanya diamankan lantaran dilakukan melakukan pencabulan hingga sodomi kepada 30 orang santri. Menurut keterangan polisi, 12 orang mengaku menjadi korban sodomi, sementara 18 lainnya mengaku dicabuli.

"Kemarin (hasil penyelidikan) tersangka J korbannya ada 26, ini ditambah lagi tiga, jadi totalnya 29. Yang disodomi ada 11 anak, sisanya dicabuli," kata Kasubdit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel Kompol Masnoni dikutip dari detikcom, Jumat (1/9).

"Satu korban lainnya disodomi oleh tersangka IA. Jadi total korban dari kedua tersangka ada 30 anak untuk saat ini," lanjutnya.

Masnoni menyebut semua korban dari dua tersangka adalah santri laki-laki yang tinggal di asrama ponpes. Menurutnya, dua tersangka melakukan aksi bejat itu dalam waktu yang berbeda.

"Semua korban anak laki-laki. Kedua tersangka melakukan perbuatan itu tidak dalam waktu bersamaan," jelasnya.

Atas tindakannya itu, IA dan J dijerat UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Sementara itu, Wadireskrim Polda Sumsel AKBP Tulus Sinaga menyebut semua korban akan sodomi dan pelecehan telah diberi pendampingan oleh pihak berwenang.

https://www.insertlive.com/hot-gossi...domi-30-santri

Tak Percaya Akhirat, Aktor Ini Tinggalkan Islam dan Pilih Jadi Agnostik

 SuaraJogja.id - Kabar mengejutkan datang dari aktor Saif Ali Khan. Suami dari aktris Kareena Kapoor tersebut dikabarkan meninggalkan agama Islam dan kini menjadi agnostik

Secara blak-blakan Saif Ali Khan mengaku lebih nyaman menjalani kehidupannya sebagai agnostik.

“Aku berpikir terlalu banyak agama yang membuatku menjadi khawatir,” kata Saif Ali Khan sebagaimana dikutip dari Hops.id.
Kekhawatirannya itu membuat aktor sekaligus produser film India itu bimbang. Ia juga mengungkap lebih detail kemunculan rasa bimbangnya itu.

 “Masalah itu muncul dari perdebatan terkait Tuhanku, Tuhanmu, atau Tuhan siapa yang terbaik?,” kata Saif.
Sejak kecil, Saif Ali Khan dikenal sebagai sosok pria yang rajin membaca Alquran. Ia lahir dari sang ayah yang menganut agama Islam dan ibu yang menjadi mualaf dari agama Hindu karena menikahi ayah Saif.
Pengakuan mantan suami Amrita Singh tinggalkan agama yang dianutnya sejak lahir itu semakin mengejutkan publik karena pernyataannya yang tidak terlalu percaya dengan kehidupan setelah meninggal atau akhirat.


“Tapi aku tidak begitu percaya akhirat, tentang kehidupan setelah mati. Aku merasa ketika kita mati ya seperti mati lampu saja. Artinya tidak ada kehidupan selanjutnya,” ujar Saif.

Kini Saif memang menjadi Agnostik namun, ia tetap memanjatkan doa dan fokus dengan energi yang ada di dalam tubuhnya. Ia juga mengaku merupakan orang yang spiritual.

“Aku berdoa dan fokus dengan energi dalam diriku sendiri. Aku orang yang spiritual,” pungkas suami Kareena Kapoor itu.


https://jogja.suara.com/read/2021/09/30/123131/tak-percaya-akhirat-aktor-ini-tinggalkan-islam-dan-pilih-jadi-agnostik

Ditangkap karena Sodomi Santri, Guru Ponpes: Demi Allah Ini Fitnah

 Ditangkap karena Sodomi Santri, Guru Ponpes: Demi Allah Ini Fitnah


PALEMBANG – Imam Akbar (20), diamankan Unit 1 Subdit IV PPA Ditreskrimum Polda Sumsel, Kamis (30/9) sore. Dia ditangkap karena diduga melakukan pencabulan atau sodomi..

Wali asrama sekaligus pengajar di Ponpes AT Kabupaten Ogan Ilir tersebut dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Dia menyebut tak pernah melakukan perbuatan maksiat terhadap santrinya. Dan tuduhan tersebut adalah fitnah.

“Qadarullah, demi Allah ini fitnah. Nanti buktikan saja,” ucap Imam saat digiring tim penyidik menuju ruang pemeriksaan Subdit PPA, Kamis (30) sore.

Dikutip Sumeks.co, Direktur Ditreskrimum Polda Sumsel, Kombes Pol Hisar Siallagan SIK melalui Wadir Ditreskrimum, AKBP Tulus Sinaga SIK menegaskan pengungkapan tersangka Imam Akbar bagian dari pengembangan kasus pencabulan dengan tersangka Junaidi, tersangka pencabulan terhadap santrinya beberapa waktu lalu.

“Muncul perkara baru dengan tersangka yang berbeda, tapi locus delicti-nya sama, yakni masih berada di Ponpes yang sama,” terang Tulus didampingi Kasubdit PPA Kompol Masnoni..

“IM (Imam Akbar) oknum pengajar di Ponpes AT Ogan Ilir. Sedangkan korbannya adalah santri yang belajar di Ponpes tersebut,” katanya.

Tersangka Imam Akbar dan tersangka Junaidi sama-sama tenaga pengajar di Ponpes tersebut kedua tersangka diduga saling kenal.

“Kedua tersangka ini melakukan perbuatan yang sama mencabuli muridnya, tetapi korbannya berbeda. Korban dari tersangka Imam Akbar sudah berkali-kali. Ada yang disodomi, perbuatan asusila dan lainnya,” tambah Tulus.

Tersangka Imam, saat melakukan aksi bejatnya diduga kuat mengancam korban sehingga terpaksa mengikuti keinginannya.

“Kasus pencabulan dengan tersangka IM penyidik masih terus mendalami dan tidak menutup kemungkinan korbannya juga akan bertambah,” tutup Tulus.

Diketahui, Unit 1 Subdit IV PPA Ditreskrimum Polda Sumsel, kembali mengungkap pelaku kasus pedofilia di pondok pesantren (Ponpes) AT, yang berada di Kabupaten Ogan Ilir (OI), Kamis (30/9).

Imam Akbar (20), yang diamankan juga bekerja sebagai wali asrama sekaligus oknum pengajar di Ponpes yang sama dengan tersangka Junaidi.(gw)

demi allah

Oknum Guru Ngaji Asal Prambon Cabuli Korban 39 Kali

 Oknum Guru Ngaji Asal Prambon Cabuli Korban 39 Kali


Radar Nganjuk - Abdul Malik, oknum guru ngaji asal Desa Sugihwaras, Kecamatan Prambon, ternyata tidak hanya sekali mencabuli Lara (bukan nama sebenarnya, Red). Abdul tega mencabuli satriwatinya tersebut hingga puluhan kali. “Tersangka mencabuli Lara sebanyak 39 kali,” ungkap Kasatreskrim Polres Nganjuk AKP I Gusti Agung Ananta Pratama kemarin.
Puluhan kali pencabulan tersebut dilaksanakan Abdul tidak hanya dalam waktu sehari atau dua hari. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan polisi, Abdul mencabuli Lara yang masih berusia 13 tahun itu selama empat tahun. Aksi tersebut dilakukan tersangka di rumahnya. Saat itu, korban mengaji di rumahnya.Saat disuruh ke belakang, Lara ternyata dicabuli oknum guru ngaji itu.

Selain mencabuli Lara, Gusti mengatakan, berdasarkan penyelidikan yang dilaksanakan sejak 25 September, Abdul juga mencabuli Mawar (bukan nama sebenarnya, Red), 13, teman Lara. Dia mencabuli Mawar sebanyak tiga kali. “Sampai saat ini ada dua korban pencabulan,” ujarnya.


Gusti mengatakan, saat ini, Abdul sudah ditahan di Mapolres Nganjuk. Dia dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) Jo Pasal 76d Jo Pasal 81 ayat (2) dan atau Pasal 82 ayat (1) Jo 76e Undang-Undang (UU) RI Nomor 17/2006 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara.

Kasatreskrim asal Bali ini mengatakan, polisi juga terus mengembangkan kasus ini. Ada kemungkinan korban pencabulan Abdul lebih dari dua orang. Karena anak yang mengaji di rumahnya sangat banyak. “Sekarang kami masih menyelidiki kasus ini,” pungkasnya.

sumur

Bejat, Oknum Ustaz di Trenggalek Cabuli Puluhan Santriwati

 Bejat, Oknum Ustaz di Trenggalek Cabuli Puluhan Santriwati


SERANG NEWS - Aksi tidak terpuji dilakukan seorang oknum ustaz salah satu pondok pesantren di Trenggalek, Jawa Timur.
Ustaz berinisial SMT (34) itu tega melakukan aksi pencabulan terhadap puluhan santrinya.
Aksi bejat SMT diduga sudah dilakukan sejak 2019 lalu dengan korban santriwati sebanyak 34 orang.

Aksi pencabulan itu terungkap setelah salah satu santriwati menceritakan perbuatan tidak terpuji tersangka ke orang tuanya.
"Tersangka SMT merupakan salah satu pengajar di pondok pesantren tersebut. Dia melakukan pencabulan terhadap puluhan anak didiknya," kata Kabagops Polres Trenggalek, AKP Jimmy Heriyanto Hasiholan dikutip dari PMJNews pada Minggu 26 September 2021.
Aksi korban yang diduga sudah dilakukan sejak tiga tahun terkahir itu akhirnya diungkap. Polisi pun membuka posko pengaduan supaya korban lainnya melapor.

sumur