Sabtu, 31 Oktober 2020

PERILAKU NABI DAN SEBAGIAN KITA


Kita acap mendengar ceramah agama yang menyuruh kita mengikuti sunnah atau perilaku dan ucapan Nabi saw. Pidatonya berapi-api sambil caci maki dan menuduh sesat atau bahkan kafir orang-orang yang tak ikut beliau. 

Bagaimana sesungguhnya perilaku Nabi sehari-hari?. 

Anas bin Malik, sahabat Nabi yang saban hari di rumah dan melayani beliau selama sepuluh tahun memberikan kesaksiannya tentang pribadi Nabi yang mulia itu :

عن أنس رضي الله عنه  خدمتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم عشرَ سنين ، فما سبَّني سبَّةً قط ، وَلاَ ضَرَبَنِي ضَرْبَةً، وَلاَ انْتَهَرَنِي، وَلَا عبَسٌ فِي وَجْهِي، وَلَا أَمَرَنِي بِأَمْرٍ فَتَوَانَيْتُ فِيهِ فَعَاتَبَنِي عَلَيهِ، فَإِنْ عَاتَبَنِي أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ قَالَ : دَعُوهُ ، فَلَوْ قُدِّرَ شَيءٌ كَانَ. 

"Aku membantu Nabi selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah sekalipun berkata-kata kasar, tidak pernah menyakitiku, tidak pernah membentakku, tidak pernah menunjukkan wajah masam di depanku, dan bila menyuruh aku melakukan sesuatu lalu aku terlambat, beliau tidak pernah memarahiku. Bahkan bila ada salah seorang keluarganya memarahiku, beliau mencegahnya sambil mengatakan : “Biarkan saja, tidak apa-apa. Bila Allah menghendaki sesuatu, itu pasti akan terjadi”.

Suatu saat beberapa sahabat Nabi mendesak beliau agar berdoa bagi kehancuran orang-orang kafir-musyrik. Nabi mengatakan : 

أنى لم ابعث لعانا ولكنى بعثت داعيا ورحمة . رواه مسلم

"Aku diutus Tuhan tidak untuk mencelakakan/mengutuk orang, melainkan untuk mengajak dan mengasihi". (Hadits Imam Muslim).

لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاحِشًا وَلاَ لَعَّاناً ولا سباباً

“Nabi saw. bukanlah orang yang biasa mengucapkan kata-kata jorok, bukan pengutuk dan bukan pula tukang cacimaki,” [HR. Muslim dari Anas].

Rasanya betapa jauhnya perilaku mereka yang pidato berteriak-teriak agar semua orang mengikuti sunnah Nabi itu dengan perilaku Nabi sendiri itu. 

Al-Qur'an menyatakan : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. 

Salam sejahtera wahai kekasih dan Utusan Allah.

29.10.2020
HM

Kamis, 29 Oktober 2020

SELAMAT JALAN PELAYAN GEREJA VINCENT LOQUES, IBU TUA DAN SIMONE BARETTO SILVA


Oleh: Birgaldo Sinaga

Kamis pagi (29/10/20) sekitar pukul 08.30 waktu Prancis, seorang lelaki berusia 55 tahun, Vincent Loques berjalan membuka pintu Katedral Notre Dame.

Vincent seorang pelayan gereja yang sehari2 bertugas di sana. Ia orang baik yang sudah mengabdikan hidupnya selama 10 tahun untuk pelayanan gereja.

Di kepingan lain, Seorang pria Tunisia bernama Brahim Aouissaoui (21)  tiba di Nice pada pukul 6.47 waktu setempat. Aouissaoui sempat berada di stasiun selama 26 menit untuk membalik mantel dan mengganti sepatunya.

Pada pukul 08.13, dia berangkat untuk berjalan kaki 400 meter ke Gereja Notre Dame, di alun-alun dengan deretan pepohonan tak jauh dari jalan raya di perbelanjaan utama Nice.

Pagi itu Vincent tidak punya firasat buruk apa2. Ia seperti biasa setiap pagi membuka pintu basilika. Sebentar lagi diadakan misa pertama sekitar pukul 10.30 waktu setempat.

Setelah membuka pintu, Vincent kembali masuk ke dalam katedral. Ia mempersiapkan segala keperluan ibadah misa.

Tidak berapa lama, seorang ibu tua dan seorang perempuan paruh baya masuk ke dalam gereja. Ia duduk di kursi. Bersimpuh dan berdoa. Hening. Tanpa suara.

Tetiba ada seorang pria muda asal Tunisia membawa tas masuk ke dalam gereja. Pria Tunisia bernama  Brahim Aouissaoui itu melenggang tenang berjalan mendekati Vincent yang sedang mempersiapkan misa pertama.

Tetiba...tanpa ba bi bu..

Brahim Aouissaoui mengeluarkan sebilah pisau tajam sepanjang 30 cm. 

Vincent tidak tahu bahaya sebentar lagi mengancamnya. Ia tetap tenang mengerjakan tugasnya.

Dan seketika...

Srettttt.....Tangan kekar Brahim itu   menggorok leher Vincent disertai teriakan takbir. 

Vincent terkulai. Ia roboh seketika. Darah muncrat deras dari batang tenggorokannya. Altar katedral bersimbah darah. Vincent tewas seketika.

Di barisan bangku, si ibu tua sedang berdoa. Ia mendengar suara jeritan dari altar. Si ibu tua yang sedang berdoa itu menjerit keras. Ia ketakutan. Ia terpaku tak tahu mau berbuat apa.

Brahim  mengejar si ibu tua. Tanpa belas kasihan, si ibu tua itu juga diserang begitu brutal. Leher si ibu tua itu dipenggal dibarengi pekikkan takbir. 

Si ibu tua itu roboh. Tubuhnya mengejang seperti ayam dipotong lehernya. Darah segar kembali membanjiri altar katedral. 

Ada juga perempuan paruh baya yang sedang berada dalam gereja. Nama perempuan itu Simone Barreto Silva, asal Brazil. Ia sudah tinggal beberapa dekade di Prancis.

Saat melihat pembantaian itu, Simone menjerit ketakutan. Brahim  semakin kesetanan. Pria Tunisia itu mengejar perempuan itu.  Ia begitu ganas dan beringas.

Tanpa sedikitpun ada rasa iba, pria itu mengejar perempuan berusia 44 tahun itu. Perempuan itu memohon ampun agar jangan dibunuh. Tapi Brahim  tidak mundur. Brahim lalu menusuk tubuh perempuan itu. Menikamnya berkali2. 

Perempuan itu akhirnya roboh kehabisan darah saat berusaha lari dari dalam gereja. Ia tewas dekat cafe di seberang gereja. Sesaat sebelum tewas Simone berkata lirih  “Tell my children I love them”.

Pelayan gereja Vincent Loques, Ibu Tua yang sedang bersimpuh berdoa dan Simone Baretto Silva seorang ibu tiga anak yang sedang memohon perlindungan Tuhan itu tewas di tangan seorang monster mengerikan.

Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Mereka tidak tahu salahnya apa. Tanpa tahu dosanya apa. Tanpa diberikan kesempatan bertanya.

Mereka tewas dalam rumah Tuhan, rumah tempat kedamaian, ketenangan dan keheningan menyatu dalam senandung kidung Allah Yang Maha Baik dan Pengasih.

Darah mereka membanjiri altar maha kudus. Mirisnya darah mereka tercurah dengan pekikan takbir. Pekikan takbir yang sejatinya menyenandungkan sifat Ilahi yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Selamat jalan Vincent, Ibu tua dan Simone Baretto Silva.

Beristirahatlah dengan damai dan tenang di rumah Bapa di Surga.

RIP.

Birgaldo Sinaga

Rabu, 28 Oktober 2020

Begini prinsip dasar negara sekuler prancis.

Kalo anda orang Kristen mengatakan Yesus itu lahir dari anak dara Maria, maka orang lain juga punya hak mengatakan Yesus itu tidak lahir dari seorang perawan. 

Mereka punya hak menyatakannya dalam bentuk kartun, video, tulisan dlsb. Bahkan mengolok2 dengan gambar vulgar senista2nya  gambar Yesus, konstitusi Francis menjaminnya.

Sejak dulu Majalah Charlie Hebdoe selalu mengolok2 perilaku orang beragama.  Gak peduli agama apa saja. Mau Katolik. Mau Protestan. Mau Islam. Mereka hajar saja.

Tentu saya tidak berhak mencampuri urusan perasaan orang yang agamanya dilecehkan. 

Masing2 orang pastilah punya kacamata yang berbeda dalam bereaksi atas olok2 Charlie Heddoe ini. 
Itu juga harus kita apresiasi. 

Orang Islam marah agamanya dihina, wajar dan harus kita hormati. Kita hargai. Itu juga dijamin UU. 

Masalahnya, prinsip dasar konstitusi Francis itu sudah berlaku berabad2. Mereka negara sekuler. 

Tinggal kita di sini yang kudu bijak melihatnya. Kudu pinter melihatnya.

Artinya, majalah Charlie Hebdoe itu emang menggunakan kebebasan berekspresi itu kebablasan. Itu cara pandang kita. Wong agama Kristen aja dihajar mereka gila2an.

Yang mesti kita pikirkan adalah kepentingan nasional kita. Jangan sampai di sini malah kita sebagai satu bangsa malah jadi cakar2an. Jadi berantem. Bertengkar.

Bagi gua, kalo agama gua Kristen diolok2, dihina serendah2nya, ya gua sikapi santuyy aja. 

Tapi kalo ada orang yang marah2 agamanya dihina, ya saya respek juga. Itu masuk akal. Wajar2 saja. 

Cuma jangan sampe penggal kepala aja sih.

Begitu.

Kamis, 22 Oktober 2020

Jilbab Itu BUDAYA

 

- Kumpulan tulisan dari Prof.Sumanto Al Qurtuby
(Oleh: Ferizal Ramli)

Kenapa hanya sejak beberapa tahun terakhir ini saja di Indonesia yang bilang Jilbab itu kewajiban? Kenapa dulu-dulu orang tidak bicara kewajiban? Kenapa tokoh-tokoh Islam hebat kita dulu sepert Cut Nyak Dhien (Aceh) atau Rohana Qudus (Minang) tidak berjilbab?

Quote dari Prof. Sumanto Al Qurtuby:
“…Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal “hijab syar’i” lah, “jilbab islami” lah. Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai ustad karbitan yang “unyu-unyu”–para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur’an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan dan perangkat ilmu-ilmu sosial. Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan “aqwal” (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan “aqwal” tentang “hijab” tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya–baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.”

Seri Tulisan Prof Sumanto Al Qurtuby, Professor Antropolog di Univ King Fadh tentang JILBAB itu adalah BUDAYA sebuah pemerkaya sudut pandang kita atas interprestasi tunggal bahwa Jilbab itu kewajiban.

Pointnya yang percaya itu kewajiban silahkan tapi jangan memaksakan orang harus pakai jilbab seperti di sejumlah sekolah dan instansi PNS bekerja. Bukti bahwa ada pemaksaan jilbab ini adalah bentuk kekerasan yang harus dihentikan. Bagi yang percaya itu budaya juga silahkan.

Diskursus tentang jilbab kewajiban Agama atau itu cuma Budaya Timur tengah boleh-2 saja selama bentuknya adalah dialog. Yang penting tidak menggunakan unsur paksaan dengan kekerasan dalam pro kontra wajib atau cuma budaya…

Tulisan-1:

Seperti saya tegaskan sebelumnya, semua jenis pakaian–tanpa kecuali–itu sekuler karena produk kebudayaan manusia. Manusialah yang membuatnya “religious”. Manusialah yang membuat pakaian itu “beragama”. Pakaian yang dikenakan kaum perempuan dari agama manapun juga sama: sekuler. Emang Tuhan yang membuat pakaian? Dalam Islam, tradisi berpakaian untuk perempuan, entah itu bernama hijab, niqab, burqa, chador (di Iran), khimar, faranji (di Asia Tengah), dlsb adalah “kebudayaan sekuler”.

Tradisi berbusana menutup aurat bagi perempuan atau katakanlah “tradisi berhijab” sudah dipraktekkan jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Sejarah berhijab itu misalnya sudah ditemukan pada abad ke-13 SM di sebuah teks hukum di Suriah. Memakai hijab pada waktu itu terbatas untuk perempuan elit (“bangsawati”) sekaligus untuk membedakan dengan “perempuan biasa”.

Kebudayaan Yunani kuno juga mempraktekkan tradisi hijab ini. Lihat saja dengan cermat, patung2 perempuan di zaman peradaban Helenisme Yunani juga kadang2 mengenakan penutup kepala dan bahkan wajah. Caroline Galt dan Lloyd Llewellyn-Jones, begitu pula Homer, sastrawan kuno kondang dari Yunani, penulis Odyssey, juga mengonfirmasi tentang penggunaan hijab ini di zaman Yunani kuno. Bedanya dengan “Suriah kuno” adalah di Yunani kuno, praktek berhijab bukan hanya untuk “kelas elit” tapi juga perempuan biasa.

Tradisi berhijab ini juga dipraktekkan dalam agama Yahudi dan Kristen. Simak saja ada sejumlah ayat dalam “Hebrew Bible” (Perjanjian Lama) dan Injil (misalnya di Kejadian, Keluaran, Korinthus, dll) yang mengisahkan tentang hijab ini. Itulah sebabnya mengapa sejumlah kelompok Yahudi Ortodoks dan Kristen ortodoks kontemporer (Katolik, Anabaptis, Gereja Kristen OrtodoksTimur, dlll) masih mengenakan hijab ini. Foto di bawah ini hanyalah sekedar contoh saja dari sejumlah kelompok suster Katolik dan Kristen Amish yang mengenakan hijab.

Dalam sejarahnya, penggunaan hijab ini, baik dalam Yahudi maupun Kristen, adalah simbol kesederhanan dan kepantasan. Perintah penggunaan penutup kepala bagi perempuan itu seperti larangan mengenakan topi bagi laki-laki saat berada di dalam gereja (begitulah pesan Santo Paulus). Karena itu jika ada umat Kristen dan Yahudi kontemporer yang menolak hijab sebetulnya mereka telah mengingkari dan menolak asal-usul dan warisan sejarah dan tradisi agamanya sendiri. Lalu, bagaimana cerita hijab dalam sejarah Islam?

Bersambung…

Tulisan-2:

Melanjutkan postingan saya sebelumnya. Sudah saya jelaskan bahwa tradisi pemakaian hijab bukanlah bermula dari Islam. Pula, bukan dimulai dari “saudara tua” Islam, yakni “kakak kesatu” Yahudi maupun “kakak kedua” Kristen. Praktek berhijab ini sudah ada dalam kebudayaan manusia jauh sebelum “agama-agama Semit” ini lahir di dunia.

Sejarah mencatat setidaknya sejak tahun 2,500 SM sudah ditemukan tradisi hijab ini, misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia kuno atau Assyria dimana sang rezim sudah membuat peraturan atau undang-undang tata-cara berbusana bagi perempuan. Disitu jelas disebutkan bahwa hijab adalah sebagai mekanisme pembeda antara “perempuan elit” dengan “perempuan rendahan”, antara “perempuan terhormat” dengan “perempuan kurang terhormat”. Para budak perempuan, pekerja rendahan, dan perempuan tak berkasta dilarang memakai hijab. Bahkan dikenai hukuman berat jika ketahuan memakainya. Hanya perempuan dari “kelas elit” yang boleh mengenakan hijab.

Tradisi Mesopotamia (kini Irak) ini kemudian diteruskan oleh berbagai imperium kuno: Mesir, Yunani, Persia, Byzantium, Romawi yang sama-sama memandang pemakaian hijab itu sebagai “simbol kehormatan”, prestise, dan “high status”. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) di Timur Tengah lahir dalam pengaruh peradaban2 besar ini, dan oleh karena itu tidak mengherankan jika ketiga agama “warisan” Ibrahim atau Abraham ini mengadopsi tradisi hijab. Berhijab bagi perempuan (seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka) adalah lambang kesederhanaan dan kepantasan. Karena itu tidak heran jika kelompok perempuan Yahudi dan Kristen awal (sebagian berlanjut sampai sekarang) mengenakan hijab. Bahkan tidak hanya berhijab, perempuan Yahudi awal juga memakai niqab.

Sejarah juga menunjukkan, tradisi perempuan Arab tidak berhijab apalagi berniqab & berburqa. Emperium Byzantium-lah yang memperkenalkan tradisi hijab ini ke kawasan Arab. Pada waktu Islam lahir, dunia Arab dan Timur Tengah memang dikepung oleh emperium ini, sehingga masyarakat Kristen dan Yahudi mendominasi kawasan ini. Jadi, sangat “unyu” jika mendapatkan masyarakat Yahudi dan Kristen kontemporer yang anti-hijab sama “unyunya” dengan sejumlah kaum Muslim yang mengklaim hijab sebagai “properti Islam” saja.

Bersambung….

Tulisan-3:

Jadi jelas bahwa berdasarkan kajian kesejarahan, “tradisi hijab” bukanlah monopoli umat Islam. Bukan pula monopoli agama-agama Semit lain seperti Kristen dan Yahudi–yang merupakan “saudara tua” Islam. Tradisi berhijab ini sudah dipraktekkan oleh masyarakat–baik “masyarakat agama” maupun “masyarakat non-agama atau sekuler”–jauh sebelum munculnya agama-agama Ibrahim / Abraham ini. Menariknya, masyarakat Arab pada mulanya tidak mengenal tradisi hijab ini. Kebudayaan Byzantium dan Persi-lah yang memperkenalkan “budaya hijab” ini ke masyarakat Arab.

Mungkin karena dianggap sebagai “tradisi baik”, sejumlah agama kemudian mengadopsi “tradisi hijab” ini menjadi bagian dari norma keagamaan. Memang jika kita mengkaji secara mendalam dengan perangkat keilmuan (bukan dengan keimanan) kita akan mendapatkan sejumlah tradisi atau kebudayaan masyarakat yang kemudian menjadi ajaran-ajaran normatif agama. Dengan kata lain, ada budaya yang dinormakan atau “diagamakan.” Ada pula agama atau norma yang dibudayakan. Hijab adalah salah satu contoh dari budaya yang “dinormakan/diagamakan” tadi.

Dalam Islam sendiri tidak ada kesepakatan tunggal di kalangan ulama (sarjana Islam) dan fuqaha (ahli hukum Islam) tentang kewajiban berhijab buat perempuan Muslimah ini. Ada yang mengharuskan, ada yang membolehkan, ada pula yang tidak mewajibkan. Ada yang bilang bahwa ayat tentang penggunaan hijab atau tirai itu hanya ditujukan untuk para istri Nabi Muhammad saja. Kata “hijab” sendiri dalam Bahasa Arab memang berarti “tirai” atau “pembatas” bukan merujuk pada jenis, bentuk, atau desain pakaian tertentu seperti yang kita lihat dewasa ini. Meskipun ada yang berpendapat bahwa perintah mengenakan hijab bagi perempuan itu diambil dari sejumlah ayat dalam Al-Qur’an, banyak juga yang berargumen bahwa pakaian hijab itu diderivasi dari Hadis Nabi dan pendapat para ulama & fuqaha.

Meskipun begitu yang jelas berhijab itu dimaksudkan untuk menutup aurat, dan penutupan aurat itu bisa dilakukan dengan jenis pakaian apa saja tidak melulu “jilbab”. Bisa dengan jeans, baju, kemben, dan seterusnya. Asal menutup aurat, semua itu bisa disebut “busana Muslimah”. Mungkin lantaran tidak adanya “juklak dan juknis” yang jelas mengenai hijab ini, maka berbagai masyatakat Islam mengembangkan dan mempraktekkan kebudayan berhijab dan berpakaian masing-masing: abaya & niqab di Saudi, burqa di Afganistan, paranja atau paranji di Asia Tengah, chador di Iran, Yasmak di Turki, purdah di Asia Selatan, tudong di Malaysia, kerudung di Jawa dan seterusnya.

Bersambung..

Tulisan-4:

Karena “tradisi hijab” sudah menjadi bagian dari kebudayaan “masyarakat agama” dan “masyarakat sekuler” sejak peradaban Mesopotamia, yang kemudian dilanjutkan oleh Yahudi, Kristen, dan “si bungsu” Islam (lihat postingan2ku sebelumnya), maka salah kaprah jika ada kaum Muslim & Muslimah yang mengklaim bahwa hijab itu “properti Islam” semata. Asal-usul hijab ini kan bukan dari Islam, bagaimana ceritanya kok tiba-tiba sejumlah umat Islam mengklaim sebagai “pemilik hijab yang sah”.

Dengan begitu, jika ada non-Muslimah (umat Kristen & Yahudi khususnya) yang mengenakan jilbab & hijab, misalnya, bukanlah sebuah pelecehan atau penodaan terhadap Islam karena pemakaian hijab itu juga diamanatkan dalam kitab-kitab suci mereka. Ingat, bukan hanya Al-Qur’an yang memuat pesan hijab ini tapi juga dalam kitab-kitab Yahudi dan Kristen. Jangan lupa, sebagaimana Islam, agama Yahudi dan Kristen juga lahir di Timur Tengah, bukan Eropa, apalagi Amerika. Oleh karena itu sangat wajar jika ketiga agama serumpun ini memiliki sejumlah kesamaan ajaran, norma, dan tradisi keagamaan, termasuk tradisi hijab ini.

Jika memang tradisi hijab hanya “milik Islam” saja, tentunya semua umat Kristen dan Yahudi menolak memakai hijab. Kenyataanya tidak. Kaum perempuan kontemporer dari sejumlah komunitas ortodoks Yahudi dan Kristen memakai hijab (bahkan niqab atau penutup wajah). Kaum perempuan Kristen di kawasan Arab seperti Palestina, Bahrain, Suriah, Mesir, Lebanon, Oman, Kuwait dlsb juga berhijab. Meskipun tentu saja ada yang tidak memakainya karena itu pilihan masing2 individu. Kaum perempuan Kristen yang tinggal di Saudi (biasanya kaum migran dari Suriah, Bahrain, Palestina, Mmesir, atau Lebanon) juga memakai abaya (jilbab ala Saudi), meskipun tanpa niqab.

Saya menulis begini nanti dikira melecehkan islam dan Al-Qur’an. Wong “ditunjukin jalan yang benar” kok malah ngeyel & marah2. Ini kan seperti ada orang buta yang mau “nyemplung” got, kemudian ada orang yang mau menolong dan menuntunnya ke “jalan yang benar”, eh malah si penolong tadi dimaki-maki…

Tulisan-5:

Adakah hubungannya antara pakaian dan kesalehan, antara jubah atau jilbab dengan kebaikan, moralitas, dan perilaku seseorang? Jelas tidak. Itu hanya sehelai pakaian. Tidak kurang, tidak lebih. Karena itu keliru besar jika orang2 di Barat misalnya yang mengaitkan antara jubah & hijab dengan radikalisme, ekstremisme, anti-kemanusiaan dan seterusnya. Hal itu sama kelirunya dengan sebagian kaum Muslim di Indonesia yang menganggap orang Islam lain yang tidak berjubah & berjilbab itu sebagai Muslim sesat. Lebih konyol lagi jika ada yang beranggapan bahwa surga itu hanya untuk kaum Muslim yang berjubah dan berjilbab.

Beragama itu tidak cukup hanya membaca ayat ini, hadis itu, perkataan ulama ini-inu, tanpa melihat konteks ayat, hadis, dan perkataan ulama tadi. Segala sesuatu ada konteksnya. Setiap dalil ada sejarahnya. Begitu pula risalah tentang “hijab” ini: ada sejarah dan konteknya. Jika umat Islam membaca dengan teliti dan seksama diiringi dengan pemahaman sosial-kesejarahan, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya tidak ada “juklak” dan “juknis” mengenai berhijab ini. Karena itu sejumlah ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam) melonggarkan aturan berhijab ini.

Sepanjang pakaian itu menutup aurat, maka itu sudah berhijab karena itu tidak ada bedanya antara kebaya Jawa dan abaya Saudi misalnya–semuanya “busana Muslimah”. Yang menganggap jeans dan kaos itu sebagai “busana kafir” dan “tidak agamis” juga keliru dan “unyu”. Kalau memang jeans, kaos dll sebagai “pakaian kafir” tentu perempuan2 Muslimah Arab tidak memakai donk.

Kenyataannya mereka memakainya dengan suka-ria. Luarnya pakai abaya, dalemannya macam2: jeans, kaos, training, dlsb.
Membacalah dengan perspektif dan kacamata yang luas bukan dengan “kacamata” kuda. Jadilah elang atau rajawali, bukan kodok yang bersembunyi di dalam “gentong” atau tempurung yang sempit…

Bersambung…

Tulisan-6:

Melanjutkan kuliah virtual tentang pakaian. Pagi tadi di kelas kami membahas khusus tentang budaya “busana Arab”. Para muridku menjelaskan tentang aneka ragam “pakaian Arab”–dari ciri khas pakaian tradisional masing2 suku sampai “seragam nasional”. Bagi yang belum paham tentang seluk-beluk “pakaian Arab”, khususnya untuk kaum lelaki, mungkin akan mengira bahwa desain dan bentuk “jubah Arab” itu serupa dan sewarna: putih. Kenyataanya tidak.

Dari segi desain jubah bermacam-macam. Warnanya pun beraneka ragam: hitam, cokelat, krem dlsb. Perbedaan itu tidak hanya terjadi antar-“negara2 Arab”, tetapi bahkan antar-daerah dalam satu negara atau antar-suku2 besar. Di Saudi juga sama, jubah itu bermacam-macam, dan setiap daerah memiliki kekhasan sendiri2. Karena itu disini ada istilah “jubah Najdi”, “jubah Hijazi”, “jubah Najrani”, “jubah Hasawi” dan seterusnya. Bahkan tidak hanya jubah, kain penutup kepalanya pun bermacam-macam bentuknya.

Ketika saya tanya: “Apakah kalian yang memakai jubah itu dalam rangka meniru Nabi Muhammad atau mengikuti sunah rasul?” Mereka malah tertawa dan serentak bilang tidak. Lo, kok bisa? Karena, menurut mereka, pakaian jubah yang mereka kenakan itu busana Arab modern, bukan “pakaian Nabi Muhammad” berabad-abad yang lalu. Memang benar sih, kebayang nggak busana seperti apakah yang dikenakan Nabi Muhammad lebih dari 14 abad yang lalu? Jadi, kalau ada kaum Muslim sekarang di Indonesia yang “berjubah putih” ria sebetulnya bukan mengikuti “Sunah Rasul” seperti klaim mereka selama ini, melainkan mengikuti “sunah” orang2 Arab modern…

Bersambung..

Tulisan-7:

Adakah hubungannya antara jilbab atau hijab dan “hidayah”? Jelas tidak ada, meskipun mungkin saja ada Bu Hidayah atau Mbak Hidayati yang berjilbab. Apakah perempuan yang berjillbab atau berhijab dengan sendirinya sudah mendapatkan “hidayah”? Belum tentu juga. “Hidayah” itu tidak ada sangkut pautnya dengan busana. Hidayah itu urusannya dengan hati, bukan sehelai pakaian.

Banyak umat Islam dewasa ini yang merasa kalau sudah berhijab itu sudah mendapatkan “hidayah” dan menganggap mereka yang belum berhijab itu belum mendapatkan “hidayah”. Banyak pula perempuan Muslimah yang berhijab merasa diri lebih baik, lebih saleh, lebih alim ketimbang mereka yang tidak berhijab. Banyak pula yang merasa diri sudah layak masuk surga hanya karena tubuhnya sudah dibalut sehelai hijab. Banyak pula yang menganggap neraka adalah tempat orang2 yang tidak berhijab.

Jika ada Muslimah yang merasa diri lebih baik, lebih taat, lebih saleh dan seterusnya hanya karena sudah berhijab disitulah kadang saya merasa sedih. Apalah artinya tubuh kalian yang berhijab itu jika hati kalian tidak ikut “berhijab”? Apalah artinya menutup tubuh luar kalian jika hati dan pikiran kalian tidak ikut ditutupi dari kesombongan, keujuban, kedengkian dan segala penyakit batin lainnya? Alih-alih menganggap perempuan yang tidak berhijab belum mendapatkan hidayah, jangan2 justru kalian sendirilah yang belum mendapatkan “hidayah” itu. Alih-alih merasa diri layak masuk surga, jangan2 malah terperosok ke tempat sebaliknya…

Tulisan-8:

Kenapa sejak dulu di Indonesia, para ulama dan kiai besar tidak pernah “meributkan” soal jilbab atau hijab atau “busana syar’i” dlsb? Karena mereka menganggap masalah ini bukan masalah fundamental dan substantial dalam Islam. Mereka berargumen sepanjang busana yang dikenakan itu menutup aurat dan sesuai dengan ukuran kepantasan dan norma yang berlaku di masyarakat setempat atau katakanlah sesuai dengan “tradisi dan budaya Nusantara” maka itu sudah sangat Islami dan sangat Qur’ani.

Karena itu dulu para putri kiai-kiai besar cukup mengenakan pakaian jarik dan kerudung. Bahkan sebelum “teknologi kerudung” diperkenalkan ke masyarakat, mereka cukup memakai kemben. Setelah “teknologi” celana panjang & aneka jenis baju diperkenalkan, gaya berbusana para putri kiai pun mengikuti dan menyesuaikan perkembangan zaman. Jadi, kaum Muslimah di Indonesia tidak perlu repot2 mencontoh gaya berbusana masyarakat Arab dengan abaya gelombor. Busana “kebaya Jawa”, misalnya, itu sama derajat “islaminya” dengan model “abaya Arab”.

Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal “hijab syar’i” lah, “jilbab islami” lah. Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai ustad karbitan yang “unyu-unyu”–para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur’an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan dan perangkat ilmu-ilmu sosial. Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan “aqwal” (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan “aqwal” tentang “hijab” tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya–baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.

Teks apapun kalau dibaca secara “leterlek” menjadi kaku: harus begini, tidak boleh begitu. Padahal kan justru lebih enak & mengasyikkan kalau sesuatu itu bersifat lentur: kadang kaku, kadang lemas; kadang keras, kadang lembut sesuai dengan situasi dan kondisi he he.

Sumber tautan:
https://ferizalramli.wordpress.com/2016/02/15/jilbab-itu-budaya/amp/

- NQ2020

Minggu, 18 Oktober 2020

Ini Makna Tembang Lingsir Wengi Kreasi Sunan Kalijaga


Masyarakat Jawa pastinya cukup kenal dengan tembang Lingsir Wengi. Namun, bisa jadi tak banyak yang tahu siapa sosok di balik kreasi tembang itu.

“Lingsir wengi sepi durung biso nendro kagodho mring wewayang kang ngreridhu ati. Kawitane mung sembrono njur kulino. Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno. Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi. Nandang bronto, kadung loro sambat – sambat sopo. Rino wengi sing tak puji ojo lali. Janjine mugo iso tak ugemi."

"Saat menjelang tengah malam, sepi tidak bisa tidur, tergoda bayanganmu di dalam hatiku. Permulaannya hanya bercanda, kemudian terjadi tidak mengira akan jadi cinta. Kalau sudah saatnya terjadi pada diriku, menderita sakit cinta (jatuh cinta), aku harus mengeluh kepada siapa. Siang dan malam, yang saya cinta jangan lupakanku, janjinya kuharap tak diingkari". Demikian terjemahan beberapa baris kalimat tembang tersebut.

Merangkum berbagai sumber, syair tembang Lingsir Wengi dikarang Sunan Kalijaga. Biasanya dilantunkan saat usai salat malam. Kegunaan tembang Lingsir Wengi sebenarnya untuk tolak bala atau mencegah makhluk gaib yang berusaha ingin menganggu. Di samping itu, tembang ini juga merupakan sebuah doa yang dilantunkan kepada Sang Pencipta.

Sayang, saat ini penggunaan tembang Lingsir Wengi justru bertolak belakang dari fungsi semula. Sebagian masyarakat lebih mengenal tembang ini sebagai nyanyian untuk memanggil makhluk halus seperti kuntilanak. Hal itu tak lepas dari pengaruh para pembuat film yang mempersepsikan Lingsir Wengi sebagai tembang pemanggil mahluk halus. 

Berkaca dari sejarah, Sunan Kalijaga sering melantunkan tembang Lingsir Wengi usai salat tahajud. Ia melakukan hal itu karena percaya tembang ini salah satunya sebagai perenungan hidup, ketabahan dalam menghadapi cobaan dan juga untuk menolak segala bencana yang akan datang.

Di kalangan masyarakat, tembang Lingsir Wengi biasanya dinyanyikan para ibu untuk menidurkan anaknya di kala malam agar mendapatkan perlindungan dari Sang Pencipta. Nama lain Lingsir Wengi adalah Kidung Rumekso Ing Wengi. 

Sumber tautan:
https://www.solotrust.com/read/24651/Ini-Makna-Tembang-Lingsir-Wengi-Kreasi-Sunan-Kalijaga

Keris Jati Diri Budaya Jawa
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=181822746682196&id=110606077137197

Standar Janda Umat Beragama
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=163919888472482&id=110606077137197

- NQ2020

KETIKA MALAYSIA JADI KADRUN


Bank Dunia mengapresiasi Omnibus Law. Gatot akhirnya mengatakan UU itu sangat mulia dan yg di tangkap dari KAMI tak perlu di kasihani. 

Bahkan UU ini juga  membuat manusia2 kardus di dalam negeri jadi ngeri, ada juga kepala daerah yg meradang karena UU itu akan membuat mereka tak bisa main mata utk hal-hal yg selama ini bisa membuat mereka kaya raya. Inilah jurus sapu jagat Jokowi yg dahsyat.

Negeri ini lama menjadi hinaan bangsa lain, bahkan tetangganya seperti Singapura dan Malaysia menganggap kita babunya mereka, tak salah memang karena kita bersedia di babukan mereka, salah siapa, ya salah pemimpin kita sebelumnya yg tak punya sikap dan bisa membawa bangsanya mengangkat kepala.

Jokowi, adalah presiden yg punya nyali dan selera tinggi, liat saja kerjanya yg punya planning luar biasa, dan sudah nyata.

Kenapa Malaysia sampai sedemikian berang, ya karena UU itu punya ekses besar kepada mereka. TKI mungkin akan kembali, sawit mereka akan semakin sulit bersaing dgn kita, dan yg pasti investor akan jauh melirik Indonesia yg selain punya banyak tenaga, ada UU yg jelas melindungi investasi mereka.

Jadi,  urus saja martabak dan roti cane kalian..., ngapain pula ngurus omnibus law, apa takut membuat kalian loyo. Kalau saja mereka sadar, luas dan populasinya mereka hanya 10%nya Indonesia jd jangan terus menganggap kita bisa diketekin mereka.

Dulu kami cuma prihatin mamak, sekarang kami punya presiden yg lain yg bisanya cuma prihatin,  mau tau namanya,.. Jokowi. Jadi berhentilah mengurus negara orang lain, urus saja diri kalian,  mumpung masih sadar dan kami juga masih sabar, daripada kami jadikan nasi kandar.., bisa ambiyaaar...

Biakto Biakto

Sabtu, 17 Oktober 2020

Hadits Palsu: Anak Tidak Berhijab, Ayah Masuk Neraka!

(Tulisan Ahmad Zakarsih)

"satu langkah wanita keluar rumah tanpa menutup aurat, satu langkah pula ayahnya hampir masuk neraka. Satu langkah seorang istri keluar rumah tanpa menutup aurat, satu langkah suaminya hampir masuk neraka".

Saya sering sekali dapat ungkapan ini, dan beberapa web atau juga blog termasuk FanPage yang menuliskan ungkapan tersebut menambahkan kata "HR. Hakim", yang berarti bahwa ungkapan tersebut sebuah hadits. Malah ada juga yang menisbatkan ungkapan itu kepada riwayat Imam Bukhori dan Muslim.

Tapi dari sekian banyak web dan blog yang memasang ungkapan itu di sejagad maya ini, belum satu pun saya dapati ada yang menambahkan sanad hadits tersebut. Atau minimal disisipkan pula teks bahasa Arabnya. Sama sekali nihil.

Malah ada juga gambar-gambar yang berseliweran di internet yang isinya gambar wanita yang tidak berhijab kemudian bawahnya ditulis ungkapan ini, tentu tidak lupa dengan tambahan "HR……"

Dengan keterbatasan alat, media dan referensi yang saya gunakan, saya sampai sekarang belum menemukan ungkapan itu dalam sebuah kitab Hadits, atau ada ulama yang menegaskan bahwa ini hadits. Karena memang kemunculan ungkapan tersebut juga agak aneh, tiba-tiba muncul dan kemudian menyebar tanpa ada sanad yang jelas.

Saya bukan dalam posisi menganjurkan orang untuk tidak menutup aurat, Na'udzubillah. Bukan juga melarang orang untuk berseru menutup aurat. Bukan itu! Saya harap tidak salah paham. Tapi saya melihat ada beberapa poin yang memang menabrak dinding syariah dengan ungkapan ini.

Hadits Buatan

Tentu poin yang paling penting ialah bahwa ungkapan ini sama sekali bukan hadits. Nah karena memang bukan hadits, maka jangan sekali-sekali kita menisbatkan sebuah ungkapan kepada Nabi saw yang aslinya itu bukan perkataan Nabi Muhammad saw.

Karena jelas itu melanggar syariah dan masuk dalam kategori berbohong atas Nabi saw. Yang parahnya lagi, bahwa orang yang telah berbohong atas Nabi saw ganjarannya adalah neraka. Bukan main besarnya ancaman bagi yang mencoba-coba menisbatkan sebuah perkataan kepada Nabi saw padahal aslinya bukan.

وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"barang siapa yang berbohong atas ku dengan sengaja maka dia (telah) menyiapkan tempat untuknya di neraka"   (Muttafaq 'Alayh)

Perkara menisbatkan sebuah perkataan dan ungkapan kepada Nabi Muhammad saw bukanlah pekerjaan remeh yang sembarang orang bisa melakukannya. Kosekuensinya besar dan tidak tangung-tanggung. Karena berbohong atas Nabi tidak sama seperti berbohong atas manusia lain. Karena perkataan Nabi Muhammad adalah wahyu. Membual dengan hadits sama saja membual dengan wahyu. Lalu tempat apa yang lebih pantas untuk para pembual wahyu selain neraka?

Jadi harus lebih teliti dengan ungkapan-ungkapan yang banyak menyebar dengan label hadits tapi sanad dan kitab rujukannya tidak jelas.

Vonis Neraka

Ya. Walaupun dalam ungkapan tersebut tidak vulgar dinyatakan masuk neraka, hanya "Hampir" saja, tapi tetap hampir itu kan yang satu langkah, kalau langkahnya banyak ya yang tadinya hampir menjadi benar-benar masuk juga. hehe

Dan alam affirmasi sebuah dakwah, kata-kata seperti itu sangat kasar dan menimbulkan kesan negative bagi si pendengar dan mad'u.

Kata-kata semisal neraka, kafir, atau juga musyrik adalah kata-kata yang harusnya bisa dihindari dalam berdakwah. Dengan kata-kata kurang sopan itu, yang terjadi malah pendengar melipir pergi dan ogah lagi mendengarkan dakwah kita.

Dan yang harus dipahami bahwa perkara menentukan si fulan dan fulanah kafir atau neraka sama sekali bukan perkara ecek-ecek. Seseorang tidak bisa melabeli seseorang dengan sebutan kafir kecuali dengan bukti-bukti nyata. Bukan dengan hadits bualan seperti ini.

Dan ungkapan ini juga telah menyalahi standarisasi penilaian syariah, dalam quran disebutkan "Laa Taziru Waaziratun Wizro ukhro" (seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain).

Seorang ayah atau ibu yang sudah berkali-kali memerintahkan anak perempuannya yang sudah baligh untuk berhijab, lalu kemudian dengan kanakalan remaja itu ia tetap tidak menggubris perintah orang tua dan terus tidak manutup aurat, ya itu perkara si perempuan bukan lagi perkara orang tua.

Saya sering membayangkan bagaimana sakitnya perasaan orang tua dan suami ketika membaca ungkapan itu. padahal sejatinya beliau-beliau telah menempuh seluruh cara sekuat tenaga untuk bisa membuat anak dan istrinya menutup aurat. Tapi wanita itu tetap menolak untuk berhijab dengan alasan yang dibuat-buat.

Musa dan Harun 'Alaiyhimas-Salam Kepada Fir'aun

Firaun yang memang sudah jelas kufurnya, sudah jelas masuk neraka, sudah jelas menandingi Allah swt dengan mengaku sebagai tuhan dan meminta disembah oleh rakyatnya. Tapi tetap Allah swt memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata dengan perkataan yang baik dan sopan kepada Firaun.

"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Thaha 44)

Ini kepada Fir'aun yang sudah jelas menyimpang, bahkan berani mengaku tuhan. Lalu kenapa kita terhadap saudara muslim lainnya yang sama-sama beriman, sama-sama berusaha untuk menjadi muslim yang makin baik tidak bisa berkata yang sopan dan lembut sebagaimana Musa dan Harun mendakwahi firaun.

Jadi memang seorang muslim ialah seseorang yang punya sifat "Tabayyun", cek ricek kebenaran kabar penting yang datang ke kuping kita, tidak asal telan.  

Wallahu A'lam.

Sumber tautan: 
http://zarkasih20.blogspot.com/2013/06/anak-tidak-berhijab-ayah-masuk-neraka.html

Rambut Tidak Mutlak Aurat Wanita
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=192815242249613&id=110606077137197

Tentang Jilbab
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=184326493098488&id=110606077137197

Mengenal Pentolan "KAMI" Yang Ditangkap Karena Menjadi Dalang Kerusuhan


9 nama pentolan KAMI yang ditangkap atas bukti keterlibatan mendalangi sejumlah aksi kerusuhan saat demo penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja, yaitu:
1. Jumhur Hidayat (JH),
2. Syahganda Nainggolan (SN),
3. Anton Permana (AP),
4. Khairi Amri (KA), 
5. Juliana (Jl), 
6. Novita Zahara S (NZS),
7. Wahyu Rasasi Putri (WRP),
8. Kingkin Anida (KA), 
9. Deddy Wahyudi (DW).

Mereka ditangkap secara terpisah di Medan, Jakarta dan sekitarnya.

Biografi singkat 9 Pentolan KAMI tersebut adalah sebagai berikut:

Jumhur Hidayat, Ia pernah menjabat sebagai Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) yang diangkat pada 11 Januari 2007 lalu, kemudian diberhentikan pada 11 Maret 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di era Pak Jumhur, banyak TKI mengeluh diperas oknum BNP2TKI saat pulang kerja dari luar Negeri. Cerita tragis para pahlawan devisa yang diperlakukan tidak manusiawi ini bisa dibaca di postingan seorang pahlawan devisa yang dimuat akun FB KataKita yang kemudian viral, link berikut: https://m.facebook.com/pageKataKita/posts/2059213160836725

Para pahlawan devisa mengeluhkan adanya pungli oleh oknum BNP2TKI saat pulang ke Indonesia melalui jalur khusus saat keluar Bandara. Jalur khusus di era BNP2TKI yang dikepalai oleh Jumhur Hidayat ini katanya bertujuan melayani para TKI agar pulang sampai ke rumah di kampung halaman dalam keadaan selamat, namun pada prakteknya sungguh mengerikan. 

Mekanisme jalur khusus TKI BNP2TKI era Jumhur Hidayat bisa dibaca di link berikut:
https://buruhmigran.or.id/2011/08/03/panduan-kepulangan-untuk-tki-ke-daerah-asal/

Kira-kira Jumhur Hidayat diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala BNP2TKI di akhir masa pemerintahan SBY itu karena apa? Apa iya karena banyak aduan dari masyarakat terkait bobroknya layanan oknum BNP2TKI yang dia kepalai? Cerita para pahlawan devisa di atas cukup memberikan gambaran. 

Jumhur Hidayat juga pernah masuk bui pada tahun 1989 akibat terlibat aksi mahasiswa menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini. Saat itu Jumhur Hidayat mengaku sebagai aktivis pemberdayaan rakyat namun klaim tersebut patut dipertanyakan. 

Tidak sedikit loh yang ngaku-ngaku aktivis namun sejatinya penyamun opportunis? Aktivis opportunis adalah aktivis yang mengaku sebagai pembela rakyat namun tujuannya hanya untuk memalak penguasa di atas penderitaan rakyat. Seandainya aktivis opportunis diberikan posisi jabatan dalam kekuasan agar tidak lagi berkoar-koar, justru ketika berkuasa malah berbalik memalak rakyat atas nama penguasa.

Di perhelatan Pilpres tahun 2014, Jumhur Hidayat mendukung Bpk. Jokowi namun kemudian di 2019 berbalik mendukung Bpk. Prabowo. Alasannya sih katanya karena kecewa. Kecewa gak dapat jabatan atau kah kebijakan yang tidak memuaskan? Kita tak pernah tahu isi hati orang. Tapi setidaknya kita rakyat kecil bisa menebaklah apa motifnya. Upayanya untuk memenangkan Prabowo sebagai Presiden kandas. Harapan sebagai pemenang kekuasaan pun kandas. 

Kini Jumhur Hidayat menjadi salah satu deklrator gerakan KAMI yang katanya ingin menyelamatkan Indonesia. Menyelamatkan dari apa? Hanya KAMI dan Tuhan yang tahu. 

Tapi Allah menunjukkan kepada rakyat siapa mereka sebenarnya. Kini mereka kena batunya, Jumhur Hidayat bersama teman-temannya ditangkap karena diduga terlibat sejumlah aksi kerusuhan saat demo penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Ketika seseorang sudah dibutakan oleh nafsu kekuasaan, jabatan, dan uang maka usaha apapun akan dilakukan sekalipun harus mengorbankan rakyat. Itulah contoh bilamana nafsu berkuasa sudah membuncah sampai ke ubun-ubun, apapun akan dilakukan untuk memenuhi hawa nafsunya. 


Senin, 05 Oktober 2020

Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam

 12 September 1984


Penulis: Iswara N Raditya
12 September 2019




Menurut Abdul Qadir Djaelani, bentrok antara umat Islam dengan aparat di Tanjung Priok pada 12 September 1984 menewaskan ratusan orang.

tirto.id - Tanggal 12 September 1984, tepat hari ini 35 tahun silam, adalah titi mangsa yang begitu kelabu bagi umat muslim. Di Tanjung Priok, Jakarta Utara, darah tumpah. Dari percik pemantik beberapa hari sebelumnya, polemik berpuncak pada tetesan darah pada 12 September 1984. Pecahlah kerusuhan yang melibatkan massa Islam dengan aparat pemerintah Orde Baru (Orba). Korban tewas nyaris seluruhnya meregang nyawa lantaran diterjang timah panas dari senapan tentara.

Pertumpahan darah sesama anak bangsa itu bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an. Semua organisasi di bumi Nusantara wajib berasaskan Pancasila, tidak boleh yang lain. Artinya, siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, 2015: 161).

Mereka yang Dituding Subversif

Di tengah suasana yang terkesan represif itu, terdengar kabar dari langgar kecil di pesisir utara ibukota. Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.

Dari situlah kejadian berdarah itu bermula. Dalam eksepsi pembelaannya di pengadilan, Abdul Qadir Djaelani menyampaikan kesaksian yang barangkali berbeda dengan versi “resmi” pemerintah Orde Baru.

Selepas subuh usai peristiwa Tanjung Priok, Djaelani dijemput aparat untuk dihadapkan ke meja hijau. Akhir 1985, pengadilan menjatuhkan vonis terhadap mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) itu. Djaelani dihukum penjara 18 tahun dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana subversi melalui ceramah, khotbah, dan tulisan-tulisannya (Tempo, Volume 23, 1993:14).

Selain Djaelani, persidangan juga menyeret sejumlah tokoh cendekiawan Islam lainnya seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya, yang dituding sebagai “aktor intelektual” bentrokan tersebut.

Setidaknya ada 28 orang yang diadili dalam rangkaian sidang yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan itu. Majelis hakim menyatakan seluruh tertuduh dinyatakan bersalah, dan dijatuhi sanksi bui yang lamanya bervariasi, hingga belasan tahun seperti yang dikenakan kepada Djaelani.

Djaelani sempat menyampaikan eksepsi pembelaannya di pengadilan, termasuk kronologi yang mengiringi insiden berdarah Tanjung Priok pada 12 September 1984 itu. Kesaksian Djaelani ini lalu diterbitkan dalam buku yang judulnya sama dengan judul eksepsi pembelaannya di pengadilan (A.Q. Djaelani, Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia: Sebuah Pembelaan, 1985).

Pemantik Bentrok di Tanjung Priok

Dalam eksepsi pembelaannya, Djaelani menceritakan awal mula perselisihan warga kontra aparat itu. Sabtu, 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.

Djaelani menyebut kedua Babinsa itu memakai air comberan dari got untuk menyiram pamflet tersebut. Dalam persidangan, hal ini diakui oleh Hermanu, salah seorang anggota Babinsa pelakunya yang dihadirkan sebagai saksi, dengan dalih:

… pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus dan tidak ada peralatan di tempat itu untuk dipakai menghapusnya. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan.” (Irfan S. Awwas, ed., Bencana Umat Islam di Indonesia Tahun 1980-2000, 2000:30).

Kelakuan dua Babinsa ini segera menjadi kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar kendati masih menahan diri untuk tidak langsung merespons secara frontal. Namun, tidak pernah ada upaya nyata dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk segera menyelesaikan masalah ini secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.

Dua hari kemudian, masih dari penuturan Djaelani, terjadi pertengkaran antara beberapa jemaah musala dengan tentara pelaku pencemaran rumah ibadah. Adu mulut itu sempat terhenti setelah dua Babinsa itu diajak masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang terletak tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga masyarakat mulai berdatangan ke masjid.

Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan membakar sepeda motor milik tentara. Aparat yang juga sudah didatangkan segera bertindak mengamankan orang-orang yang diduga menjadi provokator. Empat orang ditangkap, termasuk oknum pembakar motor. Penahanan tersebut tak pelak membuat massa semakin kesal terhadap aparat.

Namun, kata Djaelani, masyarakat masih mencari cara agar persoalan ini tidak harus melibatkan massa dalam jumlah besar. Keesokan harinya, tanggal 11 September 1984, jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk merampungkan permasalahan ini. Amir Biki adalah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memediasi antara massa dengan tentara di Kodim maupun Koramil.

Massa Islam vs Aparat Negara

Amir Biki segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang yang ditahan. Namun, ia tidak memperoleh jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di Kodim itu (Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok, 2004:19).

Merasa dipermainkan, Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama dimohon datang, undangan juga disebarkan kepada umat Islam se-Jakarta dan sekitarnya. Forum umat Islam itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam.

Amir Biki sebenarnya bukan seorang penceramah. Namun, oleh jemaah yang hadir, ia didesak untuk menyampaikan pidato dalam forum tersebut. Amir Biki pun naik ke mimbar dan berseru:

Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya!

Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita,” lanjut Amir Biki mengingatkan para jemaah, seperti dituturkan Abdul Qadir Djaelani dalam persidangan.

Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tidak digubris hingga menjelang pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak, sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 meter.

Kontroversi Jumlah Korban

Massa yang menuju Polres ternyata sudah dihadang pasukan militer dengan persenjataan lengkap. Bahkan, tidak hanya senjata saja yang disiapkan, juga alat-alat berat termasuk panser (Kontras, 2004: 20). Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa yang terus merangsek. Para tentara langsung menyambutnya dengan rentetan tembakan dari senapan otomatis.

Korban mulai bergelimpangan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan peluru. Aparat terus saja memberondong massa dengan membabi-buta. Bahkan, seorang saksi mata mendengar umpatan dari salah seorang tentara yang kehabisan amunisi. “baik! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” (Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa?, 1998: 32).

Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam

Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang dengan kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu juga menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan berpadu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk. Pernyataan Djaelani di pengadilan mengamini bahwa aksi brutal aparat itu memang benar-benar terjadi.

Kejadian serupa dialami rombongan pimpinan Amir Biki yang menuju Kodim. Aparat meminta 3 orang perwakilan untuk maju, sementara yang lain harus menunggu. Ketika 3 perwakilan massa itu mendekat, tentara justru menyongsong mereka dengan tembakan yang memicu kepanikan massa. Puluhan orang tewas dalam fragmen ini, termasuk Amir Biki (Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, 2001: 56).

Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok, 2005: 123).

Namun, pernyataan Panglima ABRI tersebut sangat berbeda dengan data dari Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung oleh kesaksian Djaelani. Lembaga ini menyebut bahwa tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang (Suara Hidayatullah, Volume 11, 1998: 67).

Presiden Republik Indonesia yang berkuasa kala itu, Soeharto, tampaknya tidak pernah menyesalkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984 itu. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit 4 tahun setelah insiden memilukan tersebut, sang penguasa berucap:

Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan.

(tirto.id - isw/ivn)

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Zen RS
Sumber


Selama Tiga Hari Tiga Malam, Empat Anak di Aceh Pesta Seks di Rumah Kosong

 Selama Tiga Hari Tiga Malam, Empat Anak di Aceh Pesta Seks di Rumah Kosong


Polisi Resor (Polres) Pidie Provinsi Aceh menahan tiga pasang laki-laki dan perempuan yang melakukan pesta seks di sebuah rumah kosong di Kecamatan Kembang Tanjong.

Mirisnya, dua pasangan yang melakukan hubungan layaknya orang dewasa tersebut masih berusia di bawah umur. Sedangkan, satu pasangan lainnya diketahui berinisial AD, pria berusia 18 tahun dan TM, perempuan berusia 19 tahun.

Kasat Reskrim Polres Pidie Iptu Ferdian Chandra menjelaskan, mereka diduga melakukan pesta seks selama empat hari hingga akhirnya digerebek warga pada Jumat (1/10/2020) sekira pukul 03.00 WIB.

Kini, pelaku seks bebas yang tak pantas tersebut telah diamankan polisi. Berdasarkan pengakuan pelaku, mereka mengaku telah melakukan perzinaan empat kali.

"Tiga perempuan itu pernah berhubungan di tempat lain dengan laki-laki lain yang dominan masih di bawah umur," jelas Iptu Ferdian seperti dilansir Modusaceh.co-jaringan Suara.com pada Minggu (4/10/2020) sore.

Dia mengemukakan, ketiga pasang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tersebut melakukan persetubuhan layaknya suami isteri.

“Menurut pengakuan pelaku, itu dilakukan masing-masing tiga kali dengan waktu yang berbeda beda,” jelasnya.

Kepada petugas, pelaku mengakui, melakukan hubungan intim tersebut berdasarkan suka sama suka. Tak hanya itu,

"Berdasarkan pengakuan keenam tersangka, mereka pernah melakukan hubungan layaknya suami istri dan ataupun persetubuhan dengan pasangan yang berbeda atau berganti pasangan diantara keenam tersangka tersebut," katanya.

Tak hanya itu, dari keterangan yang diberikan, pelaku mengaku sudah berulang kali melakukan hubungan layaknya suami istri.

Pengakuan ketiga pasangan tersebut, telah melakukan hubungan layaknya suami istri berulang kali, baik dengan pasangannya saat ditangkap warga atau di waktu dan tempat lain dengan pasangan berganti atau seks bebas,” jelasnya.

Sementara itu, Kapolres Pidie AKBP Zulhir Destrian menyatakan tiga pasangan itu dijerat Pasal 25 jo Pasal 23 dan Pasal 37 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014, tentang Hukum Jinayat.

Dikatakannya, polisi belum menemukan motif tiga pelaku melakukan mesum alias seks bebas tersebut. Misal, akibat pengaruh narkoba atau film dewasa.

“Hasil sementara, mereka pacaran hingga melakukan hubungan badan tanpa nikah,” katanya.

https://sumut.suara.com/read/2020/10...i-rumah-kosong

Sabtu, 03 Oktober 2020

FILM ANIMASI PROPAGANDA HTI


Kaget lihat Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, yang mewajibkan semua sekolah untuk baca buku karangan Felix Siaw, dedengkot HTI ??

Saya sih ga kaget. Karena sejak lama tahu, bahwa HTI sudah masuk dalam hampir semua jaringan pendidikan di Indonesia. Salah satu program Hizbut Thahrir memang melakukan pembelokan pemahaman dalam pelajaran agama di semua dunia pendidikan. Ini berkaitan langsung dgn tujuan HTI ingin mendirikan negara Islam disini. 

Jangan kaget juga, kalau HTI bahkan sudah lebih maju dalam membuat film animasi anak-anak. Namanya Nusa dan Rara. Ide cerita film ini, siapa lagi kalau bukan dr salah satu dedengkot HTI, bernama Felix Siaw.

Apa yang berbahaya dari film Nusa dan Rara ? Itu kan film anak-anak ??

Dilihat sepintas memang tidak ada apa2, itulah kelebihan HTI. Tapi kalau mau melihat lebih luas, film Nusa dan Rara itu sebenarnya sedang membangun eksklusifitas keagamaan. Islam ditampilkan dalam wajah budaya arab, lihat aja pakaian Nusa yg bergamis. 

Identitas keagamaan tampak sekali dari cara berpakaian mereka, seolah Islam itu ya harus seperti itu. Itu doktrin kepada anak2 dan guru2 sekolah pelan2.

Sesudah Nusa dan Rara dikenal, baru pelan2 akan dimasukkan doktrin khas mereka kelak, "ngucapkan salam ke agama lain itu dosa" sampai "hanya kita agama yg paling benar". Miriplah dgn doktrin2 yang mereka lakukan ke umat mereka, tapi ini kepada anak kecil.

Bedakan dengan film produksi Malaysia, Upin dan Ipin dimana animasinya menunjukkan berbagai macam karakter, bukan saja Melayu dan bukan saja Islam. Film Upin dan Ipin adalah bagian dr propaganda pemerintah Malaysia, yang ingin menciptakan kesatuan suku dan ras, supaya menjadi Malaysia satu.

Di Indonesia, film masih belum jadi perhatian pemerintah utk propaganda persatuan, tapi dimanfaatkan kelompok hijrah utk propaganda identitas agama.

Menariknya, film animasi Nusa dan Rara mau diangkat ke bioskop oleh Visinema. Ini PH besar yang dibelakangnya ada salah satu pendana seperti GDP Ventures, yang notabene punya kelompok Djarum. Visinema dan pendananya hanya berfikir tentang bisnis, tanpa sadar ikut meluaskan propaganda identitas yang dibangun oleh HTI dan jaringan mereka..

Gagapnya kita menahan laju gerakan militansi HTI, karena banyak dari kita kurang pengetahuan tentang mereka. Jangan kaget kalau suatu saat kita kalah bukan karena mereka pintar, tapi karena justru kita terlalu bodoh untuk melindungi negara kita..

Saya menulis ini bukan untuk mempopulerkan mereka, justru untuk mengingatkan bahaya yang lebih besar dalam keragaman kita, jika politik identitas mulai dibenamkan ke anak-anak kita yang masih polos tanpa mereka sadari..

Seruput kopinya..

Denny Siregar