Sabtu, 03 April 2021

Bagaimana Muslim & Yahudi Kiri Berbareng Bergerak Gulingkan Shah?

 Bagaimana Muslim & Yahudi Kiri Berbareng Bergerak Gulingkan Shah?

Mengenakan pakaian tradisional, wanita Muslim Syiah membawa poster Ayatullah Ruhollah Khomeini saat mereka berbaris menuju Lapangan Shayad Teheran Jumat, 20 Januari 1979 untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap permintaan Khomeini untuk pembentukan sebuah republik Islam. Foto AP / Robert Dear





Oleh: Tony Firman - 10 Maret 2021
Dibaca Normal 5 menit
Komunitas Yahudi adalah salah satu pendukung Revolusi Iran yang militan. Namun, mereka tetap mengalami persekusi pascarevolusi.
tirto.id - Revolusi Iran yang berlangsung sekira empat dekade silam telah mengubah geopolitik Timur Tengah. Monarki sekuler yang pro-Barat runtuh berganti dengan negara Islam di bawah pemerintahan Ayatullah Ruhullah Khomeini.

Protes besar menentang rezim Shah Reza Pahlevi selama 1978-1979 melibatkan banyak orang dari berbagai macam latar belakang kelas sosial, politik, etnis, dan agama. Meski begitu, agaknya tak banyak yang tahu—atau tak mau mengakui—bahwa minoritas Yahudi juga aktif terlibat dalam Revolusi Islam Iran.

Komunitas Yahudi telah mendiami tanah Persia sejak periode Pembuangan ke Babylonia 2.700 tahun silam. Peran komunitas Yahudi dalam Revolusi Islam Iran dapat dibaca dalam studi sejarawan spesialis Iran modern Lior Sternfeld yang berjudul “The Revolution's Forgotten Sons and Daughters: The Jewish Community in Tehran during the 1979 Revolution” yang terbit di jurnal Iranian Studies (2014).

Sternfeld menyebut, sebuah rumah sakit amal milik komunitas Yahudi bernama Sapir di Teheran begitu vital perannya selama bulan-bulan protes. Pernah suatu hari, aparat keamanan dan SAVAK—dinas polisi rahasia Shah Iran yang terkenal kejam—mendatangi Rumah Sakit Sapir untuk memburu aktivis. Namun, setelah 24 jam menggeledah rumah sakit, mereka tak berhasil meringkus satu pun demonstran.

“Para demonstran tahu betul rumah sakit Yahudi akan merawat mereka dengan baik dan yang terpenting tidak akan menyerahkan mereka ke SAVAK. Mereka tak seperti rumah sakit pemerintah,” tulis Sternfeld.

Peran Intelektual Yahudi
Saat peristiwa Black Friday 1978—penyerangan oleh pasukan militer Shah Iran yang menewaskan sekira 100 demonstran, salah seorang pejabat senior RS Sapir bernama dokter Jalali berkisah kepada Sternfeld bahwa, “Hampir 90 persen orang yang terluka datang ke sini. Kami merawat semuanya di empat ruang operasi."
Bagaimana Muslim & Yahudi Kiri Berbareng Bergerak Gulingkan Shah?

Dokter Jalali berhubungan dekat dengan Ayatullah Mahmud Taleqani, ulama progresif yang populer selama revolusi sekaligus perwakilan Ayatullah Khomeini di Teheran. Taleqani mengerahkan tim paramedis untuk bekerjasama dengan pihak RS Sapir mengevakuasi para demonstran.

Selama peringatan Tasu’a dan Asyura pada 10–11 Desember 1978, misalnya, seluruh staf tetap siaga di rumah sakit. RS Sapir juga mengerahkan ambulans untuk menjemput pengunjuk rasa yang terluka.

Dokter Jalali juga meminjamkan gedung miliknya untuk aktivitas rekan-rekan Taleqani. Ketika Taleqani dibebaskan dari penjara Shah Iran, sejumlah pemuka agama Yahudi menjenguknya. Persahabatan mereka terjalin hingga Taleqani wafat pada September 1979.

Selain RS Sapir, ada pula Association of Jewish Iranian Intellectuals (AJII) yang secara politis mendukung protes anti-Shah. AJII adalah organisasi intelektual Yahudi Iran berhaluan kiri yang berdiri pada Maret 1978. Dua pendirinya, Harun Parvis Yesha’ya dan ‘Aziz Daneshrad, adalah aktivis Yahudi Iran yang pernah dipenjara rezim Shah karena mengorganisir pembangkangan anti-monarki.

Beberapa anggota AJII yang pernah dijebloskan ke penjara bertemu para aktivis dan bersama-sama turun ke jalan menyongsong revolusi. Mereka juga berkolaborasi dengan aktivis muslim, terutama dengan Ayatullah Taleqani.

Pada 11 Desember 1978 saat jutaan orang Iran melakukan demonstrasi terbesar melawan rezim Shah, ada 5.000 sampai 12 ribu orang Yahudi ikut serta mendukung revolusi.

“Para pemimpin agama Yahudi berbaris di barisan depan dan orang-orang Yahudi lainnya mengikuti mereka, menunjukkan solidaritas yang besar dengan rekan-rekan Iran kami,” ujar Hushang, salah seorang tokoh senior AJII dan komunitas Yahudi, sebagaimana dikutip Sternfeld dalam artikelnya yang lain.

Pengunjuk rasa muslim menyapa kelompok Yahudi dengan meneriakkan, "Saudara Yahudi, selamat datang, selamat datang." Sedangkan orang Yahudi ketika bertemu demonstran di depan Sinagog berteriak, “Diberkatilah solidaritas Muslim-Yahudi.”

Dilema Revolusi
Ketika tiba kembali di Iran dari pengasingan pada 1 Februari 1979, Ayatullah Khomeini disambut rakyat Iran, termasuk sejumlah orang Yahudi. Kontak antara komunitas Yahudi Iran bahkan terjalin sejak sang Imam masih dalam pengasingan.

Pada akhir 1978, delegasi komunitas Yahudi terbang ke tempat pengasingan Khomeini di Paris. Delegasi ini menegaskan dukungannya pada revolusi sekaligus memastikan orang-orang Yahudi tidak akan dianggap sebagai musuh revolusi.

Baca juga: Ayatullah Khomeini Kembali ke Iran Setelah 14 Tahun Diasingkan

Memang, tak semua orang Yahudi Iran—terutama generasi tua—mendukung revolusi dengan sepenuh hati. Pandangan sosial politik mereka juga tak ada yang seragam, ada yang nasionalis, zionis, antizionis, liberal, marxis, hingga yang mendukung para pemimpin Revolusi Islam.

Posisi komunitas Yahudi sebenarnya cukup diuntungkan di era monarki. Shah menarik minoritas seperti Yahudi lebih dekat pada nasionalisme Iran. Mereka diakui dan diberi kelonggaran untuk berperan dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Iran pun menjalin hubungan baik dengan Israel.

Salah satu tokoh senior Yahudi yang berada di persimpangan adalah Hakham Yedidia Shofet. Semula, Shofet menilai bahwa komunitas Yahudi sudah hidup enak di era Shah. Ketika revolusi berlangsung, dia turut bersimpati, meski enggan ikut turun ke jalan. Shofet baru ikut demonstrasi setelah dibujuk tokoh komunitas Yahudi lain dengan alasan demi keamanan komunitas.

“Di setiap tempat kita tinggal, kita harus menghormati pendapat mayoritas dan menyetujui serta menghormati kepemimpinan mereka,” ujar Shofet sebagaimana dikutip Sternfeld. Meski demikian, dia tetap menyimpan kekhawatiran atas masa depan komunitasnya pascarevolusi.

Sebagian besar generasi muda Yahudi Iran melibatkan diri dalam revolusi Keterlibatan karena faktor ideologis. Tapi, mereka juga sadar bahwa itu juga untuk melindungi komunitasnya. Bagaimana pun, mereka adalah kelompok minoritas yang rentan diskriminasi dan persekusi.

Sebelum peristiwa Black Friday meletus, sejumlah perwakilan Yahudi menemui Ayatullah Agung Muhammad Kazim Shari'atmadari. Mereka melobi agar ulama yang dihormati ini menghentikan hasutan terhadap kaum Yahudi. Pasalnya, orang-orang Iran sering salah paham dalam membedakan Yahudi, Zionis, dan Israel.

Ayatullah Shari'atmadari secara diplomatis menyatakan bahwa nyawa orang Yahudi dilindungi kecuali jika mereka adalah agen Israel. Jawaban ini tak cukup membikin puas perwakilan Yahudi karena tetap menyimpan potensi penyimpangan.

Dieksekusi Pasca-Revolusi
Apa yang dikhawatirkan komunitas Yahudi Iran perlahan terbukti. Pada 9 Mei 1979, Ayatullah Khomeini memerintahkan eksekusi mati terhadap Habib Elqanian, seorang filantropis dan pemimpin komunitas Yahudi. Elqanian dituduh sebagai “mata-mata Zionis” dan “berteman dengan musuh Allah.”

Elqanian menjadi orang Yahudi pertama yang dihabisi pascarevolusi. Ketika rezim Shah berkuasa pun, dia sudah jadi sasaran persekusi dan pernah ditangkap pada 1975.

“Kejahatan kakek saya, menurut jaksa, adalah memberikan kontribusi keuangan kepada Israel dan bertemu dengan politisi Israel [...] Tapi, kerja kerasnya dalam membangun hubungan baik dengan pengusaha muslim dan Armenia, merehabilitasi rumah sakit—termasuk rumah sakit tempat para pejuang revolusi dirawat, dan membantu anak-anak sekolah dan orang tua miskin tidak pernah diakui,” tulis Shahrzad Elghanayan, cucu Elqanian, dalam opininya yang terbit di Los Angeles Times.

Kejadian ini memicu kekhawatiran bahwa era baru penganiayaan terhadap Yahudi telah dimulai. Tiga hari setelah eksekusi Elqanian, sejumlah pemuka Yahudi terbang ke Kota Qom menemui Khomeini.

Sebagaimana pernah diutarakan kepada Shari'atmadari, para tetua Yahudi menegaskan bahwa Yudaisme dan Zionisme adalah dua hal yang berbeda. Pertemuan ini sekaligus untuk meredakan spekulasi yang beredar bahwa semua orang Yahudi dianggap agen Zionis yang menyamar.

Tokoh Yahudi Iran lainnya yang juga dieksekusi adalah Edna Sabet. Seturut studi Sternfeld yang tayang di laman Tablet, Sabet adalah aktivis kiri yang terkenal dan pendukung revolusi. Bersama suaminya yang seorang muslim, Sabet bergabung dengan organisasi muslim kiri Mujahidin-i Khalq.

Setelah revolusi, dia ditangkap pasukan Garda Revolusi tanpa proses peradilan karena aktivitasnya di organisasi kiri dianggap berbahaya. Dia disiksa selama penahanan dan dieksekusi pada 12 Februari 1982. Suaminya lebih dahulu mengalami nasib serupa.

Baca juga: Ayatullah Khomeini dan Revolusi Iran: Aliansi Getir Kiri dan Kanan

Bagaimana Muslim & Yahudi Kiri Berbareng Bergerak Gulingkan Shah?



Menurut Jewish Virtual Library, menjelang Revolusi Islam 1979, sekira 80.000 orang Yahudi tinggal di Iran. Namun, puluhan ribu orang akhirnya memilih meninggalkan negara itu saat pergolakan terjadi. Sebagian dari mereka yang pergi berasal dari golongan Yahudi kaya.

Setidaknya 13 orang Yahudi telah dieksekusi di Iran pascarevolusi. Kebanyakan karena alasan agama atau hubungan mereka dengan Israel. Misalnya, pada Mei 1998, pengusaha Yahudi Ruhullah Kakhodah-Zadeh digantung di penjara tanpa tuntutan publik atau proses hukum. Belakangan, dia diduga membantu orang Yahudi untuk beremigrasi.

Hubungan Iran dan Israel pun memburuk setelah revolusi. Khomeini memutus hubungan diplomatik dan tak mengakui Israel sebagai negara berdaulat. Propaganda anti-Semit dan anti-Israel dialirkan melalui berbagai cara termasuk kurikulum yang diajarkan di sekolah, komentar di media sosial, laporan berita, hiburan di televisi, dan retorika politik tanpa henti.

Bahkan, dalam situasi geopolitik terbaru, sejumlah negara Arab yang secara tradisional memusuhi Israel satu per satu memilih berdamai dan membuka hubungan diplomatik demi kepentingan bersama menghalau pengaruh Iran.

Dalam semangat anti-Israel dan Zionis itu, orang Iran sulit untuk tidak curiga terhadap komunitas Yahudi di negaranya. Mereka kerap dituduh sebagai kolaborator Israel atau Amerika Serikat, kendati pun pemerintah pernah berkomitmen melindungi mereka.

Seturut Haaretzpopulasi Yahudi Iran saat ini berkisar antara 10 ribu hingga 25 ribu jiwa. Meski begitu, mereka tetaplah komunitas Yahudi terbesar di Timur Tengah, di luar Israel.

Kencangnya stereotipe di Iran membuat warga Yahudi Iran terpaksa membuat kompromi—yang sebenarnya sudah terjadi sebelum revolusi berlangsung.

Sebagian warga Yahudi memilih memeluk Islam secara nominal sambil tetap mempraktikkan Yudaisme secara tertutup. Nama-nama orang Yahudi Iran pun terkadang memakai nama bernuansa islam, seperti Habib, Abdullah, atau Ruhullah. Sepulang berziarah ke Yerusalem kadang mereka menyematkan gelar “haji” pada namanya, laiknya muslim usai berhaji ke Mekah.

https://tirto.id/bagaimana-muslim-ya...gkan-shah-gaT3

Kisah Nabi Yaqub, Pelajaran Bagi Orangtua Mendidik Anak

 Nabi Yaqub AS merupakan putra Nabi Ishaq bin Ibrahim AS yang membawa banyak keteladanan. Keberadaannya termasuk dalam garis keturunan yang dimuliakan.


Kelahirannya telah disampaikan jauh-jauh hari oleh para tamu Nabi Ibrahim yang terdiri atas para malaikat. Kisah Nabi Yaqub juga terangkum di dalam beberapa surat di Alquran.

Diutus untuk menyampaikan risalah pada kaum di wilayah Syam, ia juga mendapat ujian berat terkait perannya sebagai ayah yang mendidik dua belas anak.

Salah satu anak kesayangannya adalah Nabi Yusuf, walau keduanya harus terpisahkan sekian lama.

Sampai akhirnya bisa bertemu kembali dengan jalan dan keadaan yang tidak disangka-sangka. Inilah kisah tentang Nabi Yaqub.

Lebih dekat dengan ibunya dan pernah berseteru dengan saudara kembarnya
Kisah Nabi Yaqub, Pelajaran Bagi Orangtua Mendidik Anak

Nabi Yaqub terlahir kembar dengan saudara kembar bernama Ishu atau Esau. Saat lahir, tangannya memegang tumit Ishu. Sejak kecil ia lebih dekat dengan ibunya.

Kedua orangtuanya mendidiknya dengan baik dengan ajaran ketaatan pada Allah, sehingga kelak ia bisa menjadi orang saleh dan pemimpin umat yang baik.

Sampai suatu hari, terjadilah perselisihan dengan Ishu yang senang berburu kijang. Dibandingkan dengan saudaranya, ia lebih suka berada di rumah mendalami agama.

Menjalankan amanah sang ayah agar hijrah ke tempat pamannya di Irak
Kisah Nabi Yaqub, Pelajaran Bagi Orangtua Mendidik Anak

Ayahnya mendoakan agar kelak menjadi seseorang yang memiliki keturunan nabi-nabi. Mendengar hal tersebut, Ishu merasa kecewa dan memiliki suatu rencana yang kurang baik.

Sebelum rencana terlaksana, ibunya mengetahui juga dan kemudian ia diminta pergi ke rumah paman di Irak. Pergilah ia ke Fadan A’raam, untuk bertemu paman yang bernama Laban bin Batuil.

Sesuai nasihat sang ayah, ia pergi ke Fadan A’raam yang ada di Irak. Setelah beberapa hari melewati sebuah padang pasir, barulah ia tiba di tempat tujuan. Saat mencari kediaman pamannya, ia bertanya ke salah seorang penduduk.

Penduduk menunjukkan ke arah Rahil, seorang perempuan yang jelita yang ternyata merupakan anak kedua Laban bin Batuil.

Sesudah mengenalkan diri, ia pun segera diajak bertemu Laban. Ternyata ia sedang menjalankan amanah ayahnya agar ia menikahi putri Laban.

Dinikahkan dengan kedua putri pamannya dan mendapat karunia 12 orang anak
Kisah Nabi Yaqub, Pelajaran Bagi Orangtua Mendidik Anak

Permintaan tersebut disetujui dengan persyaratan ia harus bekerja dengan Laban selama tujuh tahun sebagai mahar. Setelah tujuh tahun berlalu, ia dinikahkan dengan putri pertama Laban yang bernama Laiya.

Meskipun ia sebenarnya lebih menginginkan Rahil, dan ia utarakan keinginannya. Saat itu belum ada larangan untuk menikahi kakak beradik.

Setelah bekerja tujuh tahun kemudian, ia diperbolehkan menikahi dua putri pamannya beserta dua perempuan lagi yang menjadi pembantu keluarga.

Dari empat istrinya, lahirlah dua belas orang anak, salah satunya adalah Nabi Yusuf yang lahir dari Rahil.

Nabi Yusuf adalah anak kesayangannya, bersama dengan anak bungsu bernama Bunyamin yang memang memiliki kelebihan.

Di sinilah mulai timbul masalah karena anak-anak yang lain merasa iri karena merasa diperlakukan tidak adil.

Sempat berpisah dengan anak kesayangan dan berusaha mendidik semua anaknya dengan adil
Kisah Nabi Yaqub, Pelajaran Bagi Orangtua Mendidik Anak

Seperti yang dikisahkan dalam Alquran, anak-anaknya suatu hari berniat mengajak Nabi Yusuf yang masih remaja pergi. Ternyata Nabi Yusuf dibuang ke sumur dan ditinggalkan.

Itulah yang menjadikannya harus rela kehilangan salah satu anaknya yang paling dekat dengannya.

Ternyata Nabi Yusuf yang dibuang ke sumur tidak mengalami celaka, karena dipungut oleh musafir yang mengambil air dan dijual sebagai budak ke pembesar Mesir.

Sebagai ayah, ia terus menangisi kepergian putranya. Penglihatannya sampai hilang bertahun-tahun. Ia juga selalu berdoa agar Allah mengampuni dosa-dosa anaknya yang lain.

Sampai beberapa tahun kemudian ada kabar bahwa Nabi Yusuf sebenarnya masih hidup dan sudah jadi orang penting di Mesir, bahkan bisa bertemu kembali dengan saudara-saudara yang lain.

Sebuah gamis Nabi Yusuf yang diusapkan ke matanya bisa membuatnya bisa melihat kembali atas izin Allah. Atas izin Allah pula, ia dapat menyusul ke Mesir dan berkumpul kembali dengan keluarga .





SUMBER

Akar Krisis di Dunia Islam: Kemerosotan Intelektual Berkepanjangan

 Akar Krisis di Dunia Islam: Kemerosotan Intelektual Berkepanjangan



Sumber