Jumat, 25 September 2020

Islam Merah di Tanah Minangkabau yang Melawan Penjajah


Sumatera Barat, pada tahun 1920-an, adalah salah satu pusat pergerakan anti-kolonial di luar pulau Jawa. Selain itu, Sumatra Barat juga menghasilkan banyak tokoh-tokoh pergerakan yang terkenal: Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Moh Yamin, dan lain-lain.

Pada saat itu, Sumatra Barat punya tiga daerah pusat perlawanan, yaitu Padang Panjang, Silungkang, dan Padang. Uniknya, di Sumatera Barat, berbagai pemikiran dan tradisi saling berkontradiksi dan saling melengkapi untuk menjadi senjata anti-kolonialisme.

Yang paling mencolok adalah perkawinan islamisme dan marxisme. Dua pemikiran ini, yang oleh banyak orang dianggap ‘bertabrakan’, justru “dikawinkan” oleh banyak pejuang-pejuang anti-kolonial di Sumatera Barat.

Dua perlawanan Pembuka

Pada abad ke-19, di Sumatera Barat muncul gerakan paderi. Pengusungnya adalah tiga orang ulama yang pernah belajar di Mekah, yaitu: Haji Miskin, Haji Abdul Rahman, dan Haji Muhamad Arif. Gerakan ini bertujuan untuk membersihkan ajaran islam di Sumatera Barat dari tahayul dan khufarat.

Gerakan ini mendapat penentangan dari kaum adat dan ulama konservatif. Belanda, yang sejak awal menguasai Sumatra Barat, berusaha mengambil keuntungan “pertikaian saudara” ini. 

Belanda menerima permintaan kaum adat untuk melawan kaum paderi. Belanda memerlukan waktu kurang-lebih 6 tahun untuk mematahkan perlawanan Imam Bonjol dan pengikutnya.
 
Pada tahun 1908, di saat gerakan Boedi Utomo sedang menggeliat di tanah Jawa, di Sumatera Barat meletus pemberontakan anti-pajak. 

Para ulama, terutama dari tarekat Syattariyah, memimpin pemberontakan ini. Mereka menentang kebijakan kolonial perihal pengenaan pajak langsung.

Dua perlawanan ini sering jadi acuan tokoh anti-kolonial Sumatera Barat untuk membangkitkan semangat anti-penjajahan. Para tokoh-tokoh beraliran kiri, khususnya PKI dan Sarekat Rakyat, juga sering menggunakan acuan itu untuk mengagitasi perlawanan rakyat.

Gerakan Sumatera Thawalib

Pada awal abad 20-an, gerakan modernis islam berkembang luas di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, khususnya di kalangan pedagang. Maklum, kebanyakan ulama dan perguruan agama di Sumatera Barat menghidupi diri dari kegiatan perdagangan.

Para pedagang sendiri sangat jengkel dengan dominasi kolonial. Mereka juga tidak puas dengan usaha kolonial Belanda menghancurkan jalur atau mata-rantai perdagangan kaum pribumi.

Sentimen anti-kolonial ini turut memicu lahirnya perguruan-perguran islam swasta di seluruh Sumatera Barat. Pada pendukung gerakan islam modernis kemudian mendirikan perguruan bernama “Sumatra Thawalib”. Pertama kali berdiri di Padang Panjang.

Guru paling berpengaruh di Sumatra Thawalib adalah Zainuddin Labai el-Junusiah. Ia tidak pernah sekolah di Arab atau Mesir. Zainuddin sempat bersekolah di sekolah pemerintah, tetapi keluar karena tidak sependapat dengan gurunya.

Zainuddin mengubah sistim pendidikan “surau” menjadi Sumatera Thawalib, yaitu sekolah yang dikelola secara modern; ada ruang kelas, meja, dan ada pelajaran non-agama.

Secara pemikiran, Zainuddin banyak tertarik pada pemikiran kaum modernis islam di Kairo dan Turki. Dia sangat mengagumi pemimpin nasionalis Turki, Mustafa Kamal (Kamal Attaturk), dan menerjemahkan karya-karya Kamal untuk diajarkan di sekolah-sekolahnya.

Selain sekolah Thawalib, Zainuddin juga mendirikan sekolah Diniyyah. Sekolah Diniyyah ini lebih menekankan pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu bumi, kesehatan, dan lain-lain. Sekolah ini dibuka pada malam hari.

Zainuddin menolak subsidi pemerintah kolonial terhadap sekolahnya. Sebagai seorang guru dan sekaligus pendiri, Zainuddin tidak melarang murid-muridnya menyerap teori-teori radikal, termasuk marxisme.

Sekolah-sekolah Thawalib sangat berperan dalam melahirkan tokoh-tokoh dan tenaga-tenaga pergerakan anti-kolonial di Sumatera Barat. Banyak tokoh pergerakan anti-kolonialis, mulai dari yang marxis, nasionalis, hingga islamis, dilahirkan dari sekolah-sekolah Thawalib ini.

Tetapi, ada juga guru Thawalib yang anti-marxist. Salah satunya adalah Haji Rasul, seorang alumnus Timur Tengah. Zainuddin sering berselisih dengan Haji Rasul ini. Haji Rasul juga sering berdebat dengan asistennya yang sangat radikal, Djamaluddin Tamin dan Datuk Batuah.

Islam Komunis

Djamaluddin Tamin dan Datuk Batuah adalah asisten Haji Rasul dan sekaligus pengajar di perguruan Thawalib. Keduanya dianggap guru paling cerdas dan paling radikal di perguruan itu.

Pada tahun 1923, Datuk Batuah melakukan perjalanan keliling Sumatera. Di situlah, ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang tokoh komunis Aceh yang sebetulnya kelahiran Sumatera Barat.

Pada tahun itu juga, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin pergi ke Jawa. Keduanya mengikuti kongres Partai Komunis Indonesia/Sarekat Islam Merah (SI-Merah) di Bandung, Jawa Barat

Saat itu, seorang Haji dari Surakarta tampil berpidato. Namanya adalah Haji Misbach. Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin terperangah ketika Misbach berpidato. Penjelasan tentang islam dan komunisme begitu memikat hatinya.

Sepulangnya dari kongres itu, Datuk Batuah segera menyebarkan pandangan Haji Misbach itu di perguruan Thawalib. Selain itu, bersama dengan Djamaluddin Tamin, Datuk Batuah juga mengelola koran “Pemandangan Islam”.

Sedangkan Natar Zainuddin, yang kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1923, segera menyebarkan gagasan islam komunis melalui korannya: Djago! Djago!

Meskipun sebagaian besar guru-guru Thawalib adalah pedagang, tetapi mereka juga menentang penghisapan atau eksploitasi terhadap orang lain. 

Sebagai pedagang islam, mereka mengharamkan praktek riba. Selain itu, islam juga melarang keras umatnya memupuk kekayaan.

Kesesuaian-kesesuaian inilah yang menjadi lahan subur propaganda marxisme di kalangan islam. PKI Sumatera Barat sendiri, pada tahun 1920-an, sangat membela pedagang kecil. 

PKI mengemukakan sikap: “sekalipun mereka berdagang, tetapi mereka bukan kapitalis. Mereka juga korban kapitalisme. 

Mereka bukan mencari kaya dan jadi gemuk dan bermalas-malasan, melainkan mencari sepiring nasi. Dan mereka digencet oleh pengusaha-pengusaha kapitalis yang telah mengambil seluruh kehidupan mereka.”

Aktivitas Haji Batuah dan Natar Zainuddin tidaklah terlalu lama. Sebab, dua bulan setelah kepulangannya dari kongres PKI di Jawa, satu detasemen polisi bersenjata telah datang untuk menangkap keduanya. 

Keduanya dituding mempengaruhi tokoh-tokoh adat untuk melakukan pemberontakan.

Pada Desember 1923, Djamaluddin Tamin juga ditangkap. Ia ditangkap karena artikelnya di “Pemandang Islam”, yang memprotes penangkapan Datuk Batuah dan Natar Zainuddin.

Meski memiliki pandangan komunis, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin tetap menjadi ulama islam yang taat. 

Baginya, seperti juga Haji Misbach, ajaran komunisme dianggap justru semakin memperkuat keyakinan agamanya.

Perluasan Sarekat Rakyat

Saat penangkapan tokoh-tokoh komunis itu, Haji Rasul, yang memimpin perguruan Thawalib, tidak berbuat apa-apa. Akibatnya, murid-murid pun marah dan memaksa Haji Rasul mengundurkan diri dari sekolah Thawalib.

Pada tahun 1924, bersamaan dengan penangkapan orang-orang radikal di sekolah Thawalib, berdiri pula Sekolah Rakyat. Sekolah ini mengikuti bentuk Sekolah Rakyat-nya Tan Malaka di Semarang.

Di sekolah-sekolah rakyat itu banyak berdiri organisasi sayap pemuda Sarekat Rakyat, yaitu Barisan Muda. Pada tahun 1925, kongres PKI mengubah organisasi ini menjadi IPO (international Padvinder Organisatie- Pandu Internasional).

Di Padang, pada tahun 1914, berdiri organisasi pedagang pribumi bernama Sarekat Usaha—menyerupai Sarekat Islam di Jawa. 

Dua tokoh gerakan ini adalah Muhammad Taher Marah Sutan, seorang agen pelayaran pelabuhan, dan Sutan Said Ali, seorang guru sekolah dan anggota Sarekat Islam.

Tetapi, pada awalnya, Sarekat Usaha ini sangat konservatif. Mereka sangat menentang ide-ide komunisme. Pada tahun 1920-an, muncul tokoh pedagang terkenal, yaitu Abdullan Basa Bandaro. Dia adalah pembawa Sarekat Islam ke Sumatera Barat. Dia juga penyandang dana koran-koran kiri, seperti Pemandangan Islam, Djago-Djago, dan koran-koran Sarekat Rakyat lainnya.

Basa Bandoro juga pendukung fanatik Tan Malaka. Ia menjadi penyalur tulisan-tulisan dan Tan Malaka untuk pengikutnya di Jawa. Pada tahun 1920-an, Sarekat Usaha condong menjadi payung politik para pendukung Tan Malaka.

Pada tahun 1923, Said Ali keluar dari Sarekat Usaha dan memilih mendirikan PKI cabang Padang. 

Tapi, belum lama bergerak, Belanda sudah menangkap dan memenjarakannya. Sekeluar dari penjara, Said Ali kembali memimpin seksi PKI dan membesarkan organisasi ini.

Basis gerakan komunis lainnya adalah Silungkang. Hampir sama dengan kota-kota lain, gerakan radikal di Sawahlunto juga dibawa kaum pedagang. Hanya saja, berbeda dengan Padang Panjang dan Padang, gerakan radikal di Silungkang/Sawahlunto bersentuhan dengan pekerja tambang.

Salah satu tokoh SI di Sawahlunto, Sulaiman Labai, dikenal pernah melakukan aksi seperti Robin Hood. Pada tahun 1918, Sulaiman Labai dan pengikutnya menghentikan sebuah kereta pengangkut beras dan memaksa kepala stasiun menyerahkan dua gerbong beras.

Beras-beras itu dibagikan kepada rakyat yang sedang mengalami kelaparan. Tindakan berani Sulaiman Labai itu membangkitkan keinginan banyak rakyat Silungkang untuk bergabung dengan SI. Kelak, pada tahun 1924, SI cabang Silungkang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat.

Sarekat Rakyat Silungkan menerbitkan koran bernama “Suara Tambang” dan jurnal bulanan “Panas”. Koran propaganda ini berhasil menarik pekerja tambang di Sawahlunto. Terlebih ketika pemerintah kolonial membredel koran dan menangkap pemimpin redaksinya. Keanggotaan Serikat buruh PKI pun meningkat pasca pembredelan itu.

Jika kita melihat pembangunan PKI di Sumatera Barat, khususnya di tiga daerah itu (Padang, Padang Panjang, dan Silungkang), hampir semuanya berasal dari sarekat islam dan asosiasi pedagang. Keterlibatan dan dukungan ulama juga sangat kuat terhadap kebangkitan gerakan ini.

Pemberontakan 1927

Pasca keputusan Prambanan yang memutuskan pemberontakan, PKI di Sumatera Barat terpecah menjadi dua kelompok: pendukung Tan Malaka dan pendukung PKI-pusat.

Pimpinan PKI cabang Padang, Said Sutan Ali, yang mewakili Sumatera Barat di Prambanan, setuju dengan pemberontakan. Sedangkan pendukung Tan Malaka, yang sejak awal menyakini kegagalan pemberontakan itu, mulai mengevakuasi diri untuk menghindari penangkapan pasca kegagalan pemberontakan.

Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, pemberontakan PKI/Sarekat Rakyat di Sumatera Barat dipusatkan di Silungkang. Pemberontakan diputuskan dimulai pada malam tanggal 1 Januari 1927 dan berpusat di Sawahlunto.

Sokongan untuk pemberontakan menguat setelah dua orang Indonesia yang bekerja sebagai opsir Belanda di garnisun Sawahlunto, Sersan Mayor Pontoh dan Sersan Rumuat, menyatakan siap mendukung pemberontakan.

Akhirnya, pada saat pemberontakan tiba, pasukan pemberontak meledakkan satu kantor polisi dan ruang dansa para petinggi Belanda Sawahlunto. 

Selain itu, pada saat bersamaan, sersan Pontoh da kawan-kawannya merebut garnisun dan penjara Sawahlunto. Mereka membebaskan semua tahanan politik dan menangkap semua pejabat belanda.

Pemberontakan di Silungkang melibatkan 18 nagari. Meskipun gagal, tetapi pemberontakan rakyat di Silungkang patut dicatat sebagai salah satu revolusi rakyat paling heroik melawan kolonialisme. 

Penggeraknya kebanyakan adalah ulama dan bekas murid perguruan islam Thawalib.

Pada Agustus 1927, menurut laporan Belanda, di Sawahlunto saja ada 1.363 komunis yang ditangkap dan menunggu hukuman. Tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Kaharuddin, Jusuf Sampono, dan Ibrahim Melawas, dijatuhi hukuman mati dan dihukum gantung di penjara Duriah Sawahlunto. Banyak pejuang anti-kolonial dari Sawahlunto dibuang ke Digul.

Sulaiman Labai, tokoh Sarekat Rakyat Sawahlunto yang ditangkap sebelum pemberontakan, ditahan hingga tahun 1940-an dan meninggal di penjara dua hari menjelang proklamasi Kemerdekaan RI.

Sumber : 

Benda & Mc Vey, Communist Uprisings, halaman 101, mengutip dari koran API (organ PKI), 2 Maret 1926.

re share: Rini Anggraeni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar