Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar
Media sosial bising juga dengan narasi-nasari tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setiap hari ada saja yang membagikan artikel, meme dan video tentang ancaman komunisme. Dikait-kaitkan dengan agresivitas negara Cina di kancah politik global.
Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak mungkin bangkit lagi sebagai kekuatan politik di Indonesia. Simpatisan dan anggota PKI yang hidup pada tahun 1965, sudah banyak yang meninggal dunia. Sekarang kalau ada yang masih hidup usianya di atas 65 tahun. Jumlahnya pun sedikit. Sudah repot kalau mau membangkitkan partai mereka kembali.
Anak keturunan mereka yang lahir tahun 1965, usianya sekarang 55 tahun. Anak cucu anggota PKI, tidak seideologis orang tuanya. Mereka tidak menjalani proses kaderisasi sebagai anggota PKI. Mereka tidak pernah berjuang bersama PKI, membuat ideologi PKI tidak mendarah daging dalam diri mereka. Paling-paling mereka mendengar cerita dari orang tua mereka tentang bagaimana PKI.
Seiring perjalanan waktu dan perubahan zaman, anak cucu PKI menyaksikan Indonesia yang berbeda dengan cerita orang tua-orang tua mereka. Pandangan mereka tentang Indonesia dan PKI sudah berubah. PKI menjadi tidak relevan lagi untuk dibincangkan, selain ideologi Marxisme-Komunisme sebagai objek kajian filsafat. Itu pun bagi siapa yang berminat.
Narasi-narasi tentang Indonesia dikuasai komunis. Indonesia dalam ancaman PKI, cuman isapan jempol. Yang melemparkan isu itu kebanyakan kader-kader HTI dan simpatisannya. Kata peribahasa, “lempar tangan sembunyi batu.” Lempar isu PKI untuk menyembunyikan agenda HTI.
Negara yang sudah aman, tidak elok dibuat kacau dengan isu-isu PKI. Samalah artinya dengan tidak mensyukuri nikmat Allah swt. Di dalam kitab Lathaiful Minan, Syaikh Abul Hasan asy-Syadziliy berkata,”Pada suatu hari dalam sebuah perjalanan, aku diam di sebuah gua. Aku bermunajat, “Ya Allah, kapan aku menjadi hamba yang bersyukur?” Lalu terdengar sebuah suara, “Ketika kau tidak melihat ada yang diberi nikmat selainmu.”
Aku menjawab, “Ya Allah bagaimana aku tidak melihat orang yang diberi nikmat selainku, sementara Kau telah memberi nikmat kepada para Nabi, para ulama, para penguasa?” Suara itu kembali berkata, “Kalau bukan karena para Nabi, kau tidak akan mendapat petunjuk. Kalau bukan karena ulama, kau tidak akan bisa meneladani. Kalau bukan karena penguasa, kau tidak akan merasa aman. Jadi, semua nikmat-Ku telah Ku berikan kepadamu.”
Rasa aman yang telah diciptakan oleh pemerintah adalah nikmat dari Allah swt. Lebih tegas lagi Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengatakan, “Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, berarti ia telah menghilangkan nikmat itu, dan siapa yang mensyukurinya maka ia telah mengikatnya dengan tali kekang.”
Syaikh Zarruq mengingatkan, “Siapa yang tidak bersyukur maka nikmat yang telah Allah limpahkan akan dirampas dan ditanggalkan darinya dengan cara yang tidak diduga dan tidak diketahui.” Mari kita sudahi narasi-narasi tentang ancaman kebangkitan PKI, karena hal itu kecil kemungkinannya akan terjadi. Lebih baik, bersikap positif terhadap bangsa dan negara sendiri.
Bandung, 17 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar