Minggu, 24 Mei 2020

Iman, Ibadah, dan Perayaan



Ada teman saya yang terangan mengaku kafir, khususnya kepada teman-teman dekat dia. Tapi dia haji, dalam arti pernah melakukan perjalanan ibadah haji. Kok bisa? Dia dulu berinvestasi di biro perjalanan. "Kebetulan ada seat kosong, ya saya isi saja, sekaligus menambah pengalaman," katanya. Itu sebuah ilustrasi sederhana tentang tiadanya hubungan yang serta merta antara ritual ibadah dengan iman.

Orang yang rajin ke masjid atau gereja belum tentu beriman. Demikian pula orang yang memakai atribut tertentu, misalnya berjilbab. Ada orang yang saya kenal, berjilbab lebar, tapi dia mengaku ateis. 

Orang-orang yang mendalami ilmu agama tahu bahwa iman adalah persoalan yang paling pribadi. Ringkasnya, tidak ada seorang pun yang bisa tahu soal iman seseorang. Hanya orang itulah yang tahu. Seseorang yang mengaku beriman belum tentu beriman, sebaliknya, yang mengaku tidak beriman belum tentu juga demikian. 

Apa sih iman itu? Keyakinan seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu itu pun tidak serta merta definitif. Ada orang yang bersyahadat, sesuai iman Islam, misalnya. Tapi bisa jadi iman dia sebenarnya adalah iman kejawen, yaitu ajaran tradisional Jawa. Banyak yang jenisnya seperti ini. Orang-orang di kampung saya dulu secara tradisional adalah orang-orang Islam, tapi banyak yang melakukan praktik ritual yang tidak diajarkan dalam Islam, seperti memberi sesaji. 

Iman pun berbeda-beda pula levelnya. Ada yang sekadar percaya bahwa Tuhan itu ada, terdaftar secara administratif sebagai penganut agama tertentu, tapi tidak pernah peduli dengan hal-hal terkait ritual ibadah. Adakah yang rajin ibadah tapi sebenarnya tidak beriman? Ada. Karena tekanan keluarga? Itu salah satu contohnya. Tapi tidak selalu begitu. Ada yang menjalankan kebiasaan saja. Ada yang menjalankan ritual sebagai eskpresi rindu pada orang tuanya yang sudah tiada. Ada kawan saya yang sejak muda saya tahu tidak beriman, tapi sekarang lumayan rajin salat. "Suatu hari aku mimpi ketemu almarhum ibuku, dia menyuruh aku salat," katanya.

Jadi, bagaimana kita bisa tahu soal apa yang diimani seseorang? Tidak bisa. Ada kawan saya yang menyatakan kafir. Tapi karena tekanan keluarga, ia bersyahadat kembali. Pada saat ia hendak bersyahadat, ustaz pembimbingnya mengatakan,"Yang kami bisa saksikan hanyalah pernyataan iman kamu secara lisan. Iman kamu yang sebenarnya, hanya kamu yang tahu."

Jadi, kalau Anda berpikir, menduga-duga, mencari tahu soal iman seseorang, iman yang sebenarnya, ketahuilah bahwa Anda sedang melakukan perbuatan sia-sia. Tidak ada seorang pun bisa tahu apa sebenarnya yang diimani seseorang. Apalagi bila Anda hanya mencoba menafsirnya dari perayaan hari besar seperti Lebaran atau Natal. Itu sungguh konyol. Perayaan hari besar agama bagi sebagian orang adalah ritual suci, tapi bagi orang lain hanyalah perayaan budaya. Orang-orang Jepang itu banyak yang merayakan Natal tanpa mengenal Yesus. Menyebut nama Yesus dalam perayaan saja pun mereka tidak lakukan.

Sederhananya ada ungkapan:"Getting into a church does not make someone a christian, as getting into a garage does not make someone a car."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar