Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina
https://historia.id/agama/articles/xiaojing-arab-pegon-ala-cina-D8J79?page_source=home
Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina
Jika Islam Nusantara mempunyai Pegon dan Jawi, maka Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin.
Novi Basuki
Kitab
berbahasa Arab tulisan tangan berisi pembahasan rukun iman yang di
bawahnya terdapat terjemahan bahasa Cina dengan aksara Xiaojing.
(blog.sina.com.cn/moosamamabin).
TIDAK hanya pokok pemikirannya yang seirama dengan Islam Nusantara, Islam Konghucu (Huiru)
sebagai terminologi khusus Islam berkarakteristik Cina juga mengantongi
kemiripan dalam hal aksara yang dipakai buat menyebarkan ajarannya.
Buktinya, jika Islam Nusantara mempunyai
Pegon dan Jawi, Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin. Ya, ketiganya
sama-sama abjad Arab dan/atau Persia dengan tambahan huruf dan/atau
diakritik tertentu yang digunakan untuk menuliskan bahasa masyarakat
setempat. Xiaoerjin, dalam hal ini, dipakai sebagai media transliterasi
bahasa resmi Cina dan dialek-dialek yang dituturkan penganut-penganut
Islam di sana –suku Hui, terutama.
Selain harakat (fatḥah, kasrah, ḍammah, sukūn, dan tanwīn), Xiaoerjin atau dinamai juga Xiaojing, kata A. Ibrahim Chen Yuanlong dalam makalahnya yang dimuat Jurnal Etnologi Barat Laut (Xibei Minzu Yanjiu)
nomor 3 tahun 2018, mempunyai 43 huruf untuk merepresentasikan vokal
dan konsonan bahasa Cina. Di antara huruf-huruf itu, 28 abjab Arab dari ‘alifsampai ya’ terpakai semua. Sisanya, 4 huruf dipinjam dari abjad Persia (kâf, že, che, dan pe). Selebihnya yang 11 huruf, adalah bikinan muslim Cina sendiri dengan menambahkan satu sampai tiga titik di atas abjad Persia ‘ayn, vâv, kâf, ṣäd, re, tsâ, te, dâl, dan ḥe.
Secara harfiah, Xiaoerjin berarti “aksara
anak-anak”. Sedangkan Xiaojing bermakna “pencerna kitab”. Sesuai
artinya itu, asal muasal Xiaoerjin alias Xiaojing –selanjutnya akan saya
sebut Xiaojing– memang berhubungan erat dengan anak-anak didik yang
belajar mencerna kitab-kitab keislaman di madrasah-madrasah diniah (jingtang jiaoyu) pada akhir masa pemerintahan dinasti Ming di abad ke-16.
Kita tahu, dinasti Ming yang berdiri
sehabis menumbangkan kekuasaan kaum Mongol dinasti Yuan pada 1368,
segera memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap yang dianggap
bukan bangsa asli Cina. Orang-orang Islam asal Arab, Persia, dan Asia
Tengah yang pada era dinasti Yuan ditinggikan strata sosialnya dan
banyak menduduki jabatan penting di pemerintahan, terkena imbasnya
lantaran dipandang sebagai nonpribumi. Pemerintah tidak hanya
mempersulit mereka menikah dengan sesama bangsanya, melainkan juga
melarang penggunaan bahasanya untuk secepat mungkin mengasimilasikan
mereka meski secara paksa.
Akibatnya, di satu sisi, dibatasinya
orang-orang asing untuk kimpoi dengan sesama bangsanya, memungkinkan
Islam makin meluas ketersebarannya ke dalam masyarakat Cina. Sebab,
dalam Undang-Undang Ming Agung (Da Ming Lü), penguasa dinasti Ming memang “mengimbau [orang asing] untuk menikah dengan orang Cina” (ting yu Zhongguo ren wei hun yin).
Di sisi lain, pelarangan penggunaan bahasa Arab/Persia mengakibatkan
muslim hasil kimpoi campur yang kelak menjadi suku Hui yang sekarang
kita kenal itu, kehilangan kemampuan memahami bahasa nenek moyangnya.
Walhasil, bahasa Cina perlahan tapi pasti menggantikan kedudukan bahasa
Arab/Persia sebagai lingua francamereka.
Berangkat dari kekhawatiran akan kian
menurunnya pengetahuan muslim terhadap ilmu-ilmu keislaman, Hu Dengzhou
–saudagar kaya dari Weinan, Provinsi Shaanxi di Cina bagian barat laut
yang banyak penganut Islamnya– mendirikan madrasah diniah di rumahnya.
Para cendekiawan muslim di daerah lain pun terdorong untuk mendirikan
lembaga pendidikan serupa di masjid-masjid kampungnya.
Di luar Alquran dan hadis,
madrasah-madrasah diniah dimaksud juga mengajari santrinya ilmu-ilmu
seputar fikih, tauhid, filsafat, tafsir, dan lain-lain yang keseluruhan
bahan ajarnya berbahasa Arab dan Persia.
Namun, karena kemampuan santri madrasah
diniah Cina dalam memahami kitab-kitab berbahasa Arab dan Persia sangat
terbatas, bahasa Cina tak pelak dipilih sebagai bahasa pengantar selama
kegiatan belajar mengajar.
Nah, laiknya santri pondok pesantren kita
yang mencatat arti kitab kuning berbahasa Arab –yang maknanya
didiktekan kiai atau ustaznya ke dalam bahasa lokal– dengan Pegon atau
Jawi, santri madrasah diniah Cina juga mencatat arti kitab-kitab
berbahasa Arab dan Persia yang diterangkan gurunya dalam bahasa Cina
pakai Xiaojing tersebut.
Belum berhenti di situ, di samping
menggunakan bahasa Arab atau Persia, tak sedikit intelektual muslim Cina
yang belakangan mengarang atau menerjemahkan kitab keagamaan dengan
langsung memakai Xiaojing demi memudahkan pemahaman khalayak ramai.
Selepas dinasti Ming digulingkan dinasti
Qing, misalnya, seorang ulama asal Lingzhou (kini Kota Lingwu, Daerah
Otonom Suku Hui Ningxia), menyusun kitab yang terdiri dari bahasa Arab
dan Xiaojing berjudul Kaidānī. Kitab fikih ini kemudian dicetak di Tashkent, Kekaisaran Rusia (sekarang ibukota Uzbekistan), pada 1899.
Ada kemungkinan penyusun Kaidānī merupakan
pengikut Bai Yanhu, salah satu pemimpin pemberontakan muslim sepanjang
kepenguasaan Kaisar Tongzhi (1861–1875) yang setelah pemberontakannya
gagal, bersama loyalisnya lari ke wilayah Kekaisaran Rusia. Orang-orang
pelarian inilah yang menjadi cikal bakal suku Dungan yang saat ini
mendiami negara-negara bekas Uni Soviet semacam Kyrgyzstan, Kazakhstan,
Tajikistan, dan Uzbekistan. Mereka memang awalnya menulis dengan
Xiaojing sebelum berganti memakai Sirilik.
Tak lama berselang setelah dinasti Qing
kolaps dan Republik Cina (ROC) berdiri, Abdullah Sha Zhong dan Ibrahim
Ma Fulu menerbitkan Alquran 30 juz yang diterjemahkan mereka ke dalam
bahasa Cina dengan menggunakan Xiaojing. Terjemahan yang kesemuanya
ditulis tangan ini, berjumlah 750 halaman dan terdiri dari 6 jilid. Dua
orang ulama yang tinggal di Lanzhou, Provinsi Gansu, itu memulai
penerjemahannya pada bulan Ramadan 1909, lalu menyelesaikan dan
mempublikasikannya pada Jumat ketiga Ramadan 1912. Penempatan
terjemahannya mirip dengan pemaknaan kitab-kitab kuning dengan Pegon
atau Jawi: ditaruh di bawah tiap satu baris kalimat aslinya.
Alquran terjemahan yang kini disimpan di
Museum Prefektur Linxia tersebut, menurut Hu Long dalam tulisannya di
jurnal Muslim Cina (Zhongguo Musilin) nomor 3 tahun 2012, ialah “Alquran pertama di Cina yang diterjemahkan secara utuh dengan Xiaojing sejauh ini.”
Andai diterjemahkan langsung memakai
aksara Cina (dengan kata lain: bukan bahasa Cina yang ditulis pakai
Xiaojing), bisa saja terjemahan itu akan menjadi terjemahan Alquran 30
juz berbahasa dan beraksara Cina pertama di Cina. Untuk dimafhumi, orang
pertama yang berhasil menerjemahkan 30 juz Alquran memakai bahasa dan
aksara Cina sekaligus adalah nonmuslim bernama Ji Juemi yang logistiknya
disokong penuh oleh Silas Aaron Hardoon (1851–1931), taipan keturunan
Yahudi.
Sayang, tak seperti Pegon atau Jawi yang
tetap terawat di pondok pesantren, pengguna dan yang mengerti Xiaojing
terus berkurang meski madrasah diniah dan bahkan Institut Agama Islam (Yisilanjiao Jingxueyuan) –lembaga pendidikan tinggi modern keislaman milik pemerintah yang khusus mencetak ustaz– ada di mana-mana.
Penyebabnya, selain karena makin banyak
muslim yang menguasai aksara Cina yang kian simpel seiring
disederhanakannya penulisan bejibun huruf-huruf ruwet nan jelimet oleh
Partai Komunis Cina sejak 1956, Xiaojing sebenarnya memang tidak
sepenuhnya bisa dipakai untuk menuliskan pelafalan bahasa Cina.
Pasalnya, bahasa Cina adalah bahasa yang
bernada. Ada empat nada yang masing-masing berfungsi untuk membedakan
makna huruf yang pelafalannya sama. “Wen” yang dilafazkan dengan nada menurun, contohnya, berarti bertanya. Sementara “wen” yang dibaca dengan nada menurun lalu menaik bermakna mencium.
Dalam kondisi demikian, bagaimana caranya
memastikan kalimat homofon semisal “wo wen ni” adalah merujuk “aku
bertanya padamu” atau “aku menciummu” padahal dengan memakai Xiaojing,
ketiga kata itu sama-sama ditulis dengan wāwfatḥah plus ‘ayn sukūn untuk “wo” (aku), wāw ḍammah tanwīn untuk “wen” (bertanya atau mencium), dan nūn kasrah untuk “ni” (kamu)? Salah-salah bisa berabe jadinya.
Walau begitu, tak patut dipungkiri,
Xiaojing telah menambah khazanah keislaman dunia. Dan, pada masanya, ia
telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi masyarakat Cina untuk
mengenal Islam lebih dalam.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Tak lama berselang setelah dinasti Qing kolaps dan Republik Cina
(ROC) berdiri, Abdullah Sha Zhong dan Ibrahim Ma Fulu menerbitkan
Alquran 30 juz yang diterjemahkan mereka ke dalam bahasa Cina dengan
menggunakan Xiaojing. Terjemahan yang kesemuanya ditulis tangan ini,
berjumlah 750 halaman dan terdiri dari 6 jilid. Dua orang ulama yang
tinggal di Lanzhou, Provinsi Gansu, itu memulai penerjemahannya pada
bulan Ramadan 1909, lalu menyelesaikan dan mempublikasikannya pada Jumat
ketiga Ramadan 1912. Penempatan terjemahannya mirip dengan pemaknaan
kitab-kitab kuning dengan Pegon atau Jawi: ditaruh di bawah tiap satu
baris kalimat aslinya.
Alquran terjemahan yang kini disimpan di Museum Prefektur Linxia
tersebut, menurut Hu Long dalam tulisannya di jurnal Muslim Cina
(Zhongguo Musilin) nomor 3 tahun 2012, ialah “Alquran pertama di Cina
yang diterjemahkan secara utuh dengan Xiaojing sejauh ini.”
Andai diterjemahkan langsung memakai aksara Cina (dengan kata lain:
bukan bahasa Cina yang ditulis pakai Xiaojing), bisa saja terjemahan itu
akan menjadi terjemahan Alquran 30 juz berbahasa dan beraksara Cina
pertama di Cina. Untuk dimafhumi, orang pertama yang berhasil
menerjemahkan 30 juz Alquran memakai bahasa dan aksara Cina sekaligus
adalah nonmuslim bernama Ji Juemi yang logistiknya disokong penuh oleh
Silas Aaron Hardoon (1851–1931), taipan keturunan Yahudi.